Said Didu Ungkap Dugaan Keterlibatan Sejumlah Tokoh dalam Kebijakan Ekonomi Era Jokowi

R24/zura
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu. (Tangkapan Layar dari Channel YouTube @ForumKeadilanTV)
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu. (Tangkapan Layar dari Channel YouTube @ForumKeadilanTV)

RIAU24.COM -Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, kembali melontarkan sejumlah pernyataan kritis terkait arah kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam tayangan berjudul “[Untold Story] Said Didu Buka Sederet Nama Kaki Tangan Jokowi” yang beredar di platform YouTube, Said Didu membeberkan sederet nama pejabat yang ia sebut memiliki peran dalam berbagai kebijakan strategis nasional, mulai dari proyek infrastruktur hingga pengelolaan tambang.

Sorotan terhadap Proyek Kereta Cepat dan Peran Luhut

Dalam awal perbincangan, Said Didu menyinggung proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang menurutnya mengalami perubahan struktur kepemilikan dan pembiayaan yang tidak menguntungkan negara.

Ia menyebut Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sebagai sosok yang ditugaskan langsung oleh Presiden Jokowi untuk mengatur skema kepemilikan saham proyek tersebut.

“Pak Luhut itu ditugaskan supaya sahamnya dipegang China, biar risikonya juga di sana,” ujar Said Didu.

Menurutnya, dalam proses negosiasi dengan pihak Tiongkok, pemerintah Indonesia gagal menekan bunga pinjaman agar lebih rendah. Ia menilai proyek ini akhirnya lebih menguntungkan pihak asing karena pembiayaan dan teknologinya dikendalikan sepenuhnya oleh China Railway International.

Said Didu juga menyebut, pernyataan Presiden Jokowi bahwa negara telah “mengambil alih” Freeport sebagai bentuk kedaulatan ekonomi dianggap tidak tepat.
Menurut dia, pemerintah melalui BUMN justru membeli saham Freeport setelah masa kontrak lama habis, bukan mengambil alih secara langsung.

PIK 2 dan Pengelolaan Aset Negara

Lebih lanjut, Said Didu menyoroti proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang pernah masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Ia menilai proyek tersebut masuk daftar PSN “melalui jalan selingkuh” tanpa kajian mendalam.

Ia menyebut beberapa nama yang menurutnya memiliki keterkaitan dalam proses itu, seperti Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Ahmad Zaki (Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi), serta Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian).

Menurutnya, proyek tersebut menimbulkan persoalan baru karena menyangkut lahan yang sebelumnya dimiliki rakyat atau negara. Setelah status PSN dicabut, Said Didu berpendapat pemerintah seharusnya menarik kembali aset-aset yang digunakan untuk proyek tersebut.

“Kalau sudah dicabut PSN-nya, negara punya hak menarik aset yang diambil tanpa dasar hukum kuat,” ujarnya.

Ia juga menyinggung penggunaan tanah negara, termasuk lahan bekas kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang disebutnya dialihkan dengan harga murah atau melalui mekanisme tidak transparan.

Kritik terhadap Kebijakan Pertambangan

Dalam bagian lain wawancara, Said Didu membahas kebijakan sektor pertambangan dan investasi mineral yang menurutnya semakin berpihak pada kepentingan asing, khususnya Tiongkok.

Ia menyebut sejumlah tokoh seperti Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi), Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), dan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pejabat yang memiliki pengaruh besar dalam penyusunan kebijakan tersebut.

“Banyak izin tambang sekarang dipusatkan di Kementerian Investasi, dan investor besar yang masuk sebagian besar dari China,” katanya.

Said Didu menilai kebijakan bebas pajak dan kemudahan izin usaha yang diberikan kepada perusahaan asing di sektor nikel dan smelter dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi.
Ia juga mengaitkan hal ini dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yang disebutnya memusatkan izin ke pemerintah pusat dan mengurangi kontrol pemerintah daerah.

Infrastruktur dan Dugaan Markup

Said Didu turut menyoroti pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus utama pemerintahan Jokowi.
Ia menyebut pembangunan jalan tol, bandara, dan proyek transportasi lain kerap dilakukan tanpa memperhatikan keseimbangan kebutuhan masyarakat.

Menurutnya, biaya pembangunan jalan tol di Indonesia tergolong tinggi dibanding negara lain, membuka potensi adanya markup atau pembengkakan biaya.

Dalam hal ini, Said Didu menyebut beberapa nama pejabat yang dianggap punya peran besar dalam proyek infrastruktur, seperti Basuki Hadimuljono (Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Rini Soemarno (mantan Menteri BUMN), serta pimpinan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

“Kalau jalan tol dibangun sebelum jalan biasa yang layak, itu bukan membangun, tapi memeras rakyat lewat tarif,” ucapnya.

Ia juga menyinggung proyek bandara dan pelabuhan yang disebutnya “mangkrak” karena tidak melalui studi kelayakan yang matang.
Said Didu menilai, kebijakan infrastruktur seringkali lebih berorientasi pada nilai investasi ketimbang manfaat publik.

Tuntutan Transparansi dan Penegakan Hukum

Menutup pernyataannya, Said Didu menegaskan perlunya langkah hukum atas dugaan penyimpangan kebijakan yang ia sebutkan. Ia meminta pemerintah menindaklanjuti semua laporan dan melakukan audit terbuka terhadap proyek-proyek strategis nasional.

“Kalau memang ada pelanggaran, jangan dibiarkan. Rakyat menunggu ketegasan dari aparat penegak hukum,” ujar Said Didu.

Ia juga berharap pemerintahan berikutnya di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, yang dijadwalkan mulai bekerja pada Oktober 2024, dapat bersikap lebih transparan dalam pengelolaan sumber daya negara.

Belum Ada Tanggapan Pemerintah

Hingga saat artikel ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari pejabat-pejabat yang disebut dalam pernyataan Said Didu.

Pernyataan tersebut masih bersifat sepihak dan perlu diverifikasi lebih lanjut melalui klarifikasi dari pihak terkait.

Namun demikian, pernyataan Said Didu menambah daftar panjang kritik publik terhadap kebijakan ekonomi dan proyek infrastruktur di era pemerintahan Jokowi.

Bagi sebagian pengamat, suara Said Didu kerap dianggap sebagai bentuk kontrol sosial terhadap penggunaan kekuasaan ekonomi negara.

Pernyataan Said Didu mencerminkan kekhawatiran sebagian kalangan terhadap tata kelola sumber daya dan arah kebijakan ekonomi nasional.

Meski belum dapat dibuktikan secara hukum, isu yang diangkatnya membuka ruang diskusi publik mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. 

Dalam konteks demokrasi, suara seperti ini menjadi bagian penting dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan kepentingan rakyat.

(***) 
 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak