RIAU24.COM - Uruguay melegalkan eutanasia pada hari Rabu, menjadikannya salah satu negara pertama di Amerika Latin dan di antara belasan negara di dunia yang mengizinkan bunuh diri dengan bantuan.
Negara kecil di Amerika Selatan ini memiliki sejarah panjang dalam mengesahkan undang-undang yang liberal secara sosial, melegalkan ganja, pernikahan sesama jenis, dan aborsi jauh sebelum kebanyakan negara lain.
Pada hari Rabu, eutanasia ditambahkan ke dalam daftar setelah Senat menyetujui rancangan undang-undang yang disebut ‘Kematian yang Bermartabat,’ memperoleh 20 suara setuju dari total 31 legislator yang hadir, dan mengesahkan undang-undang yang disetujui oleh Majelis Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus.
Pemungutan suara dilakukan setelah 10 jam perdebatan mengenai isu yang oleh beberapa anggota parlemen disebut sebagai isu tersulit.
Diskusi tersebut sebagian besar berlangsung penuh rasa hormat dan seringkali emosional, meskipun beberapa penonton yang menyaksikan debat tersebut meneriakkan pembunuh setelah pemungutan suara disahkan.
Di tempat lain di Amerika Latin, pengadilan di Kolombia dan Ekuador telah mendekriminalisasi eutanasia tanpa mengesahkan undang-undang yang melegalkannya, sementara Kuba mengizinkan pasien terminal untuk menolak dihidupi secara artifisial.
Undang-undang ini, yang merupakan inisiatif dari partai kiri Frente Amplio yang berkuasa, akhirnya disahkan setelah perjuangan bertahun-tahun, dengan oposisi yang sengit, terutama dari kalangan kanan religius.
Jajak pendapat terkini menunjukkan lebih dari 60 persen warga Uruguay mendukung eutanasia legal, dan hanya 24 persen yang menentang.
RUU tersebut memperbolehkan bantuan bunuh diri bagi warga negara atau penduduk dewasa Uruguay yang memiliki kemampuan mental dan berada pada tahap akhir dari penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang menyebabkan mereka menderita.
Beatriz Gelos, perempuan Uruguay berusia 71 tahun yang telah berjuang melawan ALS neurodegeneratif selama dua dekade, mengatakan kepada AFP bahwa undang-undang itu penuh kasih sayang, sangat manusiawi.
Dengan kursi roda dan berbicara dengan suara terbata-bata, ia mengatakan para penentang tidak tahu bagaimana rasanya hidup seperti ini.
Pendukung lainnya adalah Monica Canepa, yang putranya, Pablo, 39 tahun, telah lumpuh karena penyakit yang tak tersembuhkan.
"Pablo tidak hidup. Ini bukan hidup," katanya kepada AFP.
Asosiasi Medis Uruguay belum mengambil sikap terhadap eutanasia, dan membiarkan para dokter anggotanya mengikuti hati nurani mereka sendiri.
Gereja Katolik, di sisi lain, telah menyatakan kesedihan atas keputusan tersebut.
(***)