RIAU24.COM - Kasus dugaan korupsi Petamina memasuki babak baru.
Kejaksaan Agung berhasil menangkap 9 tersangka baru, termasuk satu nama besar yakni Riza Chalid.
Berikut adalah deretan tersangka yang namanya baru dibacakan di Lobi Gedung Bundar Jampidsus pada Kamis (10/7/2025):
1.Alfian Nasution (AN) selaku Vice President Supply dan Distribusi PT Pertamina tahun 2011-2015 dan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga tahun 2021-2023,
2.Hanung Budya Yuktyanta (HB) selaku Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014,
3.Toto Nugroho (TN) selaku VP Integrated Supply Chain tahun 2017-2018,
4.Dwi Sudarsono (DS) selaku VP Crude and Trading ISC PT Pertamina tahun 2019-2020,
5.Arief Sukmara (AS) selaku Direktur Gas Petrochemical dan New Business Pertamina International Shipping,
6.Hasto Wibowo (HW) selaku VP Integrated Supply Chain tahun 2018-2020,
7.Martin Haendra (MH) selaku Business Development Manager PT Trafigura tahun 2019-2021,
8.Indra Putra (IP) selaku Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi,
9.Mohammad Riza Chalid (MRC) selaku Beneficial Owner PT Orbit Terminal Merak.
Sementara itu, 9 tersangka lainnya kini berkasnya sudah dilimpahkan tahap dua ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Para tersangka ini adalah:
10.Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga tahun 2023;
11.Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
12.Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping;
13.Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional;
14.Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga;
15.Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
16.Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa;
17.Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim;
18.Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Peran Para Tersangka
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI membeberkan rincian peran para tersangka dalam skandal korupsi sektor energi yang menyeret sejumlah nama besar di lingkungan Pertamina dan perusahaan mitra. Dalam paparan resmi, modus korupsi mencakup penyewaan terminal BBM yang tidak dibutuhkan, manipulasi tender kapal angkut, rekayasa ekspor-impor minyak, hingga pembelian bensin kualitas rendah dengan harga premium. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp285 triliun.
1. Terminal BBM Disewa Meski Tidak Dibutuhkan
Empat orang tersangka yakni Alfian Nasution, Hanung Budya Yuktyanta, Mohammad Riza Chalid, dan Gading Ramadhan Joedo diduga bersekongkol agar PT Pertamina menyewa terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak milik PT OTM, meskipun secara operasional saat itu tidak dibutuhkan.
Dalam kontrak awal, tercantum bahwa setelah 10 tahun sewa, PT OTM akan menjadi milik Pertamina. Namun, klausul ini dihapus oleh Alfian dan Hanung, membuka celah kepentingan bisnis Riza Chalid dan Gading Joedo. Nilai sewa terminal juga dinaikkan menjadi USD 6,5 per kiloliter, jauh lebih tinggi dari standar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kerugian mencapai Rp2,9 triliun dari praktik ini.
2. Tender Kapal Angkut Dikuasai Komplotan Internal
Tersangka lain, Arief Sukmara, Dimas Werhaspati, dan Agus Purwono, disebut menyabotase tender pengadaan kapal angkut minyak dari Afrika ke Indonesia. Mereka diduga memastikan perusahaan afiliasi seperti PT Jenggala Maritim Nusantara, yang terkait langsung dengan Dimas sebagai komisaris, menjadi pemenang tender.
Harga sewa kapal yang seharusnya USD 3,7 juta, dinaikkan hingga USD 5 juta. Muhammad Kerry Andrianto Riza, sebagai pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, juga dilaporkan menerima keuntungan dari rekayasa ini. Sementara Indra Putra mendapat proyek pengangkutan minyak menggunakan kapal Olympic Luna dengan metode coloading, meski belum diketahui nilai feenya.
3. Minyak Dalam Negeri Dibuang, Impor Diatur
Skema korupsi lainnya melibatkan ekspor Minyak Mentah Bagian Negara (MMKBN) dan Minyak Domestik dari Anak Usaha Hulu Pertamina, padahal stok dalam negeri saat itu tidak berlebih.
Dwi Sudarsono, Sani Dinar Saifuddin, dan Yoki Firnandi disebut memanipulasi data kebutuhan domestik. Mereka menurunkan kapasitas produksi kilang, seolah-olah minyak dalam negeri tak terserap. Bersama Riva Siahaan dan Agus Purwono, mereka menyusun skenario agar minyak Indonesia seakan harus diimpor kembali, bahkan dengan jenis dan kualitas sama—dijual murah ke luar, dibeli mahal dari luar.
4. Lelang Impor Minyak Disulap Jadi Formalitas
Nama Toto Nugroho mencuat dalam dugaan pengaturan tender impor minyak mentah. Ia memberikan perlakuan khusus kepada beberapa perusahaan dalam Daftar Mitra Usaha Terdaftar (DMUT), meskipun tidak layak ikut lelang.
Para DMUT ini, seperti Muhammad Kerry, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan Joedo, disebut telah menyepakati harga terlebih dahulu. Proses lelang hanya dijadikan formalitas dengan pemenang yang sudah ditentukan. Kejagung menilai praktik ini sebagai bentuk kartel lelang yang merugikan negara secara masif.
5. Modus Bensin RON Rendah Dijual dengan Harga Premium
Pada konferensi pers tanggal 26 Februari 2025, Kejagung mengungkap modus pengoplosan bensin yang dilakukan oleh Maya Kusmaya, Edward Corne, dan Riva Siahaan. Ketiganya membeli bahan bakar beroktan RON 90, tetapi membayar dengan harga setara RON 92.
Lebih lanjut, Maya memerintahkan Edward untuk mencampurkan RON 88 dan RON 92 di terminal BBM milik Gading dan Kerry. Hasil blending ini kemudian dijual sebagai RON 92 (Pertamax), menimbulkan kerugian tambahan bagi konsumen dan negara.
Kerugian Negara: Rp 285 Triliun
Seluruh rangkaian praktik korupsi ini, menurut Kejagung, telah menimbulkan kerugian negara secara langsung dan tidak langsung hingga Rp 285 triliun. Angka ini mencakup kerusakan tata kelola energi, manipulasi pasar, dan kerugian dalam pengelolaan sumber daya energi nasional.
Pihak Kejagung menegaskan proses hukum terhadap seluruh tersangka akan terus bergulir dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru.
(***)