RIAU24.COM -Suasana haru menyelimuti halaman Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (27/10). Magda Antista (59), ibu dari Delpedro Marhaen, tak kuasa menahan tangis ketika hakim menolak permohonan praperadilan yang diajukan anaknya.
“Anakku tidak bersalah, anakku hanya membela rakyat. Kenapa kalian menzalimi? Aku tuntut kalian di akhirat, ya Allah,” ujar Magda dengan suara bergetar, sambil dipeluk suaminya, Deny Rismansyah.
Delpedro, Direktur Lokataru Foundation, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan menghasut demonstrasi yang berujung ricuh pada akhir Agustus 2025. Ia ditangkap di rumahnya pada 1 September malam, dan sejak itu menjalani proses penyidikan di kepolisian.
Putusan Hakim dan Respons Keluarga
Sidang praperadilan yang digelar di PN Jakarta Selatan itu menjadi upaya hukum Delpedro untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka dan tindakan penggeledahan yang dilakukan polisi.
Dalam gugatannya, tim kuasa hukum dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) berpendapat bahwa prosedur penetapan tersangka dan penggeledahan tidak sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Namun, hakim tunggal menolak seluruh permohonan tersebut. Dalam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa seluruh tindakan penyidik telah sesuai prosedur hukum yang berlaku.
“Menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya,” kata hakim dalam putusan yang dibacakan di ruang sidang perkara Nomor 132/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL.
Keputusan itu membuat penyidikan terhadap Delpedro tetap berlanjut di Polda Metro Jaya.
Aksi Solidaritas dari Masyarakat Sipil
Di luar gedung pengadilan, sejumlah aktivis dari SAFEnet, KontraS, dan LBH Jakarta hadir memberikan dukungan moral kepada Delpedro dan keluarganya. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Hentikan Kriminalisasi Aktivis” dan “UU ITE Bukan Alat Represi.”
“Kami datang untuk menunjukkan solidaritas kepada semua aktivis yang menghadapi kriminalisasi karena menyuarakan kritik,” ujar salah seorang perwakilan KontraS.
Aksi solidaritas ini berlangsung damai dengan pengawalan ketat aparat kepolisian.
Kasus yang menjerat Delpedro menambah panjang daftar aktivis yang dijerat pasal penghasutan dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Lembaga advokasi digital SAFEnet mencatat, sejak beberapa tahun terakhir, penggunaan pasal-pasal tersebut meningkat terhadap warga yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan publik, baik di media sosial maupun dalam aksi massa.
Beberapa organisasi masyarakat sipil menilai, praktik seperti ini berpotensi menimbulkan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. “Penerapan pasal penghasutan dan UU ITE sering kali tidak proporsional, terutama ketika diarahkan pada aktivis yang menjalankan fungsi kontrol sosial,” ujar salah satu peneliti hukum dari Universitas Indonesia.
Peran Lokataru dan Latar Belakang Aktivisme
Lokataru Foundation, lembaga yang dipimpin Delpedro, dikenal aktif dalam pendampingan hukum terhadap masyarakat yang berhadapan dengan kekuasaan. Lembaga ini juga terlibat dalam sejumlah advokasi kasus hak asasi manusia, termasuk dugaan kekerasan aparat terhadap warga dan kriminalisasi aktivis lingkungan.
Rekan-rekan Delpedro menilai, keterlibatannya dalam demonstrasi akhir Agustus lalu merupakan bagian dari komitmen lembaga dalam memperjuangkan hak-hak sipil. “Delpedro hadir sebagai pembela HAM, bukan penghasut. Tuduhan itu tidak berdasar,” kata Muzaffar Salim, staf Lokataru yang juga terseret dalam perkara serupa.
Sore hari selepas sidang, Magda Antista masih berdiri di depan pagar pengadilan. Di tangannya tergenggam foto lama anaknya ketika masih kuliah hukum. Air mata menetes saat ia berbicara pelan, “Saya hanya ingin keadilan untuk anak saya.”
Sidang hari itu telah usai. Hakim, jaksa, dan aparat meninggalkan ruang peradilan. Namun bagi keluarga Delpedro dan para pendukungnya, perjuangan belum selesai. Mereka masih berharap hukum bisa memberi keadilan, bukan sekadar prosedur.
(***)