RIAU24.COM - Dalam tayangan Rakyat Bersuara yang tayang pada 14 Oktober lalu, pernyataan keras Ahmad Khozinudin kembali mengguncang wacana politik nasional.
Ia menuduh Presiden Joko Widodo memiliki “niat jahat” melalui penyelundupan pasal dalam kasus hukum yang menjerat mantan Menteri Roy Suryo, terkait polemik keaslian ijazah kepala negara.
Tayangan berdurasi hampir dua puluh tiga menit itu menampilkan perdebatan sengit antara para narasumber, termasuk aktivis, pengacara, dan akademisi yang hadir dalam forum tersebut.
Khozinudin, yang dikenal sebagai advokat dan pengamat hukum, dalam pernyataannya menyebut bahwa Presiden Jokowi kini mulai “bergetar dan khawatir” jika kasus ijazah benar-benar sampai ke pengadilan.
“Kalau sampai pengadilan ternyata objek yang diteliti itu sama dan terbukti palsu, seluruh rakyat akan menyatakan ijazah itu palsu di depan pengadilan,” ujarnya dalam acara yang dipandu Aiman Witjaksono tersebut.
“Benar praduga kami bahwa ada penyelundupan pasal. Kalau pasal 310 dan 311 KUHP itu ancamannya di bawah lima tahun, maka tak bisa digunakan untuk menahan. Karena itu, dimasukkanlah pasal 32 dan 35 Undang-Undang ITE — itulah niat jahat," lanjutnya.
Pernyataan itu memantik reaksi keras dari peserta diskusi lainnya. Sejumlah pihak menilai tudingan tersebut terlalu jauh dan berpotensi menggiring opini publik di luar fakta hukum yang sah.
Namun Khozinudin bersikeras, menyebut bahwa langkah hukum terhadap Roy Suryo dan dr. Tifa justru membuka peluang besar untuk menguji kebenaran di ruang pengadilan.
“Kami tidak takut disidangkan. Justru kami ingin kasus ini naik ke penyidikan dan disidangkan, agar publik tahu objek yang diteliti itu sama,” katanya.
Dalam tayangan itu, Khozinudin juga mengklaim bahwa pihaknya telah memperoleh dokumen legalisir dari KPU DKI Jakarta dan KPU Pusat, yang menurutnya memperkuat temuan bahwa ijazah Jokowi “99,9 persen palsu”.
“Dulu kami berprasangka, jangan-jangan objek yang diteliti Pak Roy dan Pak Rismon berbeda. Tapi setelah kami dapat salinan yang sama dari KPU, ternyata objeknya sebangun. Jadi penelitian mereka makin kuat,” ujarnya.
Klaim ini, sejauh pemantauan Kompas, belum dapat diverifikasi secara independen. Pihak KPU hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi menanggapi pernyataan tersebut.
Perdebatan semakin panas ketika topik bergeser pada posisi hukum Jokowi dan hak publik untuk mengetahui kebenaran. Khozinudin berulang kali menekankan pentingnya keterbukaan.
Ia bahkan mengutip pandangan akademisi, “Sebagaimana Prof. Komaruddin Hidayat pernah bilang, kalau itu asli, silakan diteliti, diuji, lalu selesai. Tidak perlu ada kegaduhan lagi. Tapi kalau ditutup-tutupi, publik justru semakin curiga.”
Namun, pandangan berbeda datang dari peserta lain. Salah satu pengacara yang hadir menilai bahwa banyak gugatan soal ijazah memang wajar ditolak oleh pengadilan karena ranahnya bukan pengadilan negeri, melainkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Ijazah adalah produk administrasi, bukan objek perkara pidana atau perdata. Maka kalau ada gugatan ke pengadilan negeri, pasti ditolak karena salah kamar,” ujarnya.
Khozinudin menolak anggapan itu. Ia menegaskan bahwa pemalsuan dokumen tetap termasuk perbuatan melawan hukum, sehingga dapat diproses melalui ranah pidana. Ia menyebut pasal yang relevan seharusnya bukan 310 atau 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, melainkan pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
“Memalsukan ijazah itu jelas perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Menurutnya, langkah aparat yang menerapkan pasal 32 dan 35 UU ITE terhadap pihak-pihak yang mempertanyakan ijazah Jokowi justru memperkuat dugaan adanya “penyalahgunaan undang-undang”.
Dialog malam itu memunculkan ketegangan emosional. Beberapa peserta saling menyela, bahkan terjadi adu argumen tajam antara Khozinudin, pengacara Jokowi, dan perwakilan masyarakat yang membela pihak presiden. Di tengah debat, Khozinudin menuding bahwa upaya penyelesaian di luar pengadilan atau mediasi merupakan cara untuk menghindari pembuktian di ruang sidang.
“Saya melihat ada upaya untuk berdamai agar kasus ini tidak sampai ke pengadilan. Padahal, kalau memang yakin ijazah itu asli, seharusnya tak ada yang perlu ditakuti,” katanya.
Perdebatan di program Rakyat Bersuara ini kembali menyorot kontroversi lama yang tak kunjung padam. Sejak masa pemilihan presiden, isu mengenai keaslian ijazah Jokowi telah beberapa kali muncul, bahkan sempat bergulir di pengadilan. Namun hingga kini, belum ada putusan pengadilan yang menyatakan dokumen tersebut palsu.
Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat Jokowi menempuh pendidikan, berulang kali menegaskan bahwa ijazah yang dikeluarkan sah dan terdaftar dalam arsip universitas. Pernyataan serupa pernah disampaikan pihak Bareskrim Polri pada 2025 yang menyebut hasil pemeriksaan forensik menunjukkan kesesuaian dokumen.
Meski begitu, tudingan terhadap keaslian ijazah terus dimunculkan oleh sejumlah pihak dan aktivis yang menuntut keterbukaan publik. Isu ini kembali menjadi bahan politik yang sensitif, terutama menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi dan dinamika politik pasca-pemilu.
Beberapa pengamat menilai, narasi seputar ijazah kini lebih banyak digunakan sebagai instrumen tekanan politik ketimbang persoalan hukum murni.
Dalam konteks itu, penting bagi publik untuk membedakan antara klaim politik dan fakta hukum. Pernyataan seperti yang disampaikan Khozinudin harus ditempatkan sebagai pandangan pribadi yang belum diverifikasi.
Sementara pihak-pihak yang merasa dirugikan berhak menempuh jalur hukum untuk memastikan kejelasan perkara.
Bagi media dan masyarakat, menjaga kehati-hatian dalam mengutip dan menafsirkan pernyataan menjadi hal krusial di tengah suhu politik yang semakin tinggi.
Seperti halnya gaya pemberitaan Kompas, tanggung jawab utama media bukanlah memperpanjang polarisasi, melainkan menghadirkan konteks, keseimbangan, dan ruang rasional bagi publik.
Kini, perdebatan soal ijazah bukan sekadar soal dokumen akademik, melainkan simbol tentang kepercayaan publik terhadap transparansi, integritas, dan legitimasi kekuasaan.
Dan di tengah suasana politik yang mudah memanas, kebenaran hukum hanya bisa ditegakkan lewat proses terbuka — bukan melalui adu narasi di layar kaca.
(***)