RIAU24.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan kuota tambahan ibadah haji era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) berdampak langsung pada kerugian umat calon jamaah haji. Salah satu imbasnya dari dugaan penyimpangan tersebut, yakni bertambahnya masa tunggu bagi 8.400 jamaah haji reguler.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan kerugian terbesar bukan hanya terkait keuangan negara, melainkan juga dirasakan langsung oleh jamaah haji reguler. Sebab, dari pertemuan Presiden ke-7 Jokowi dengan pemerintah Arab Saudi menghasilkan 20 ribu kuota haji tambahan.
Merujuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh disebutkan bahwa kuota haji tambahan dibagi menjadi 92 persen untuk reguler dan 8 persen haji khusus. Namun, kuota tambahan itu dibagi menjadi 50:50.
“Bicara kerugian umat ya terkait dengan waktu tunggu ini bisa dibilang menjadi salah satu dampak yang cukup masif ya, karena kalau kita lihat hitungannya artinya ada 8.400 kuota yang digeser ya kan dari yang seharusnya reguler ke khusus ya,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/8).
Budi menjelaskan, kuota reguler yang seharusnya berjumlah minimal 18.400 atau 92 persen, berubah menjadi hanya 10.000. Sebaliknya, kuota khusus yang seharusnya hanya 8 persen justru melonjak menjadi 10.000.
“Artinya kuota reguler ini berkurang 8.400 ya dimana 8.400 ini kan bergeser ke kuota khusus ya, artinya ada jamaah-jamaah yang kemudian antreannya juga digeser, yang seharusnya berangkat menggunakan kuota reguler di tahun ini misalnya begitu, karena kemudian ada kuota khusus ya kan maka bisa berdampak pada pergeseran keberangkatan itu juga,” ucap Budi.
Karena itu, KPK menduga kebijakan diskresi dalam penggeseran kuota haji tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara dan perpanjangan masa tunggu bagi calon jamaah haji.
“Artinya itu ada dampak juga yang ditimbulkan dari adanya diskresi penggeseran ini, tentu selain dengan kerugian keuangan negara yang menjadi fokus dari penanganan perkara ini juga,” ujar Budi.
Budi menegaskan, tim penyidik KPK saat ini mendalami tengah seluruh dokumen dan keterangan saksi terkait kebijakan penggeseran kuota tersebut. Termasuk Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang mengatur soal pembagian kuota haji tambahan.
Karena itu, penyidik tengah mencari tahu apakah penggeseran kuota ini merupakan kebijakan dari level atas atau inisiatif pihak bawah. Mengingat, KPK belum mengumumkan secara resmi pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi kuota haji.
“Sehingga dilakukan pengeseran dari kuota dengan total 20.000 yang seharusnya seluruhnya jika kita mengacu pada tujuan dari pemberian kuota tambahan oleh pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia adalah untuk memangkas waktu tunggu atau memangkas antrean ibadah Haji maka sepatutnya kuota tersebut adalah seluruhnya untuk reguler,” terang Budi.
Selain itu, KPK juga tengah menelusuri keterlibatan pihak biro perjalanan haji yang diduga menikmati keuntungan dari penggeseran kuota ini.
“Semuanya akan didalami kaitannya dengan SK juga yang ditunjukkan oleh saksi dalam pemeriksaannya kemudian keterangan-keterangan yang diperoleh dari para pihak, termasuk dari para Biro Perjalanan yang juga sudah dilakukan pemeriksaan," tegasnya.
Dalam pengusutan kasus ini, KPK telah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri. Yaitu mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (YCQ), eks staf khusus (stafsus) Menag Ishfah Abdul Aziz (IAA), dan pihak travel Fuad Hasan Masyhur (FHM).
Pencegahan dilakukan demi memastikan ketiga pihak tersebut tetap berada di wilayah Indonesia selama proses penyidikan berlangsung.
Larangan bepergian ke luar negeri itu berlaku selama enam bulan ke depan, terhitung sejak tanggal dikeluarkannya surat keputusan.
Tindakan itu dilakukan setelah KPK secara resmi mengumumkan perkara dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama (Kemenag) 2023–2024 naik ke tahap penyidikan, pada Sabtu (9/8) dini hari.
(***)