RIAU24.COM - Morowali kembali menjadi sorotan setelah Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengeluarkan pernyataan berintonasi keras yang langsung mengguncang ruang publik.
Dalam kunjungan resminya usai menyaksikan latihan terintegrasi TNI 2025 di kawasan industri nikel Morowali, ia menegaskan bahwa “tidak boleh ada negara dalam negara”, merujuk pada keberadaan sebuah bandara yang disebutnya beroperasi tanpa otoritas negara—tanpa bea cukai, tanpa imigrasi, tanpa otoritas navigasi, bahkan tanpa izin operasi yang jelas.
Pernyataan yang disampaikan Menhan bukan hanya bersifat teknis administratif. Ia membawa implikasi politik, keamanan, dan kedaulatan yang sangat serius.
Apalagi, lokasi bandara yang disinggung berada tepat di jantung industri nikel Indonesia, kawasan yang dalam satu dekade terakhir menjadi episentrum investasi asing, khususnya dari Tiongkok.
Anomali yang Membuka Kotak Pandora
Dalam video dalam kanal YouTube @RockyGerungOfficial_2-24 yang dirangkum tim Riau24, pengamat politik Rocky Gerung menggarisbawahi bahwa ucapan Menhan sejatinya menembus batas isu teknis menuju pertanyaan fundamental: siapa yang mengizinkan anomali itu berlangsung?
Menurut Rocky, ketika seorang Menhan menyatakan ada “negara dalam negara”, maka logika publik secara otomatis tertuju pada kepala negara yang memegang otoritas tertinggi saat fasilitas tersebut dibangun dan dioperasikan. Dengan kata lain, ia mempertanyakan dasar legitimasi keberadaan bandara yang berjalan tanpa instrumen kedaulatan negara.
Rocky menekankan bahwa perkembangan industri besar seperti Morowali tidak berdiri sendiri. Tumbuhnya smelter, masuknya investasi, hingga kebutuhan transportasi logistik pasti melewati proses perizinan yang panjang.
Oleh karena itu, apabila sebuah bandara ada namun tidak berada di bawah kendali negara, maka publik patut menduga adanya persetujuan implisit dari kekuasaan masa lalu.
Bandara Tanpa Pengawasan: Dari Risiko Keamanan hingga Dugaan Aliran Kepentingan
Pernyataan Menhan menyingkap pertanyaan yang lebih luas: bagaimana mungkin sebuah fasilitas setingkat bandara beroperasi di luar radar negara?
Rocky memperluas argumen dengan menyebut risiko strategis yang tersimpan di baliknya—mulai dari potensi penyusupan alat-alat pemantau (chips), aktivitas lalu lintas orang tanpa dokumen resmi, hingga kebocoran data geospasial wilayah strategis Indonesia bagian timur.
Menurutnya, kehadiran bandara demikian berpotensi menjadi pintu masuk informasi dan logistik tanpa kontrol negara, baik secara ekonomi maupun keamanan. Rocky menyebut kondisi itu sebagai “bocor total”: bocor data, bocor demografi, bocor topografi. Semua terjadi bukan karena kelengahan semata, tetapi karena adanya celah yang dibiarkan terbuka bertahun-tahun.
Morowali: Panggung Besar Kepentingan Asing
Latihan TNI di Morowali dibaca sebagai sinyal strategis. Rocky mengingatkan bahwa Morowali sudah lama dikenal sebagai pusat operasi perusahaan-perusahaan Tiongkok, terutama di bidang smelter dan pengolahan nikel. Banyak laporan yang menyebut masuknya pekerja asing dalam jumlah besar, termasuk tenaga kasar, satpam, hingga operator produksi—sebuah fenomena yang telah lama mengundang kritik publik.
Menurut Rocky, situasi tersebut merupakan “rahasia umum” yang berlangsung sejak beberapa tahun lalu, saat Indonesia mengalami lonjakan investasi industri berat. Ia juga menyoroti cerita-cerita yang beredar dari penumpang pesawat, pekerja lokal, hingga kru lapangan yang menyaksikan sendiri arus masuk pekerja dari Tiongkok melalui berbagai bandara di Indonesia.
Politik, Diplomasi, dan Momentum Koreksi
Rocky berpendapat bahwa pemerintah saat ini sebetulnya telah mengetahui berbagai kejanggalan tersebut, tetapi menunggu momentum yang tepat untuk melakukan penertiban yang sah secara politis. Pernyataan Menhan, menurutnya, bukan sekadar respons emosional; melainkan isyarat diplomatik bahwa era baru penataan ulang telah dimulai.
Pernyataan itu juga bisa dibaca sebagai langkah yang mencerminkan radical break—istilah yang digunakan sebagian analis untuk menggambarkan upaya Presiden Prabowo dalam memisahkan diri dari praktik-praktik kekuasaan masa sebelumnya. Momentum itu penting, karena publik kini menuntut transparansi dan akuntabilitas atas proyek-proyek besar yang dinilai sarat masalah, mulai dari nikel hingga kereta cepat.
Dinasti Politik, Delegitimasi, dan Tuntutan Publik
Pada bagian akhir, Rocky menegaskan bahwa isu ini berkelindan dengan wacana delegitimasi dinasti politik Jokowi. Menurutnya, meskipun Jokowi tidak lagi menjabat, struktur kekuasaannya masih bekerja melalui jaringan politik dan ekonomi yang tersebar.
Ia bahkan menyebut bahwa kelompok masyarakat seperti aktivis kampus, jurnalis investigasi, hingga peneliti asing mulai menyuarakan kebutuhan untuk memeriksa kembali jejak-jejak kebijakan era Jokowi apabila ditemukan potensi korupsi atau pelanggaran tata kelola.
Pernyataan Menhan mengenai adanya bandara tanpa otoritas negara bukan hanya membuka tabir anomali administratif, tetapi juga memicu evaluasi struktural terhadap satu dekade kebijakan strategis Indonesia.
Jika benar ada “negara dalam negara”, maka penyelidikan tidak hanya berhenti pada legalitas bandara, tetapi meluas pada jejaring kebijakan, pengambil keputusan, serta pihak-pihak yang menikmati manfaat ekonomi dari kelonggaran tersebut.
Kasus Morowali tampaknya akan menjadi ujian terbesar bagi pemerintah baru: apakah keberanian politik mampu mengimbangi kedalaman masalah struktural yang ditinggalkan?
(***)