Prabowo Mau Ganti Posisi Penting BUMN dari Pekerja Asing, Said Didu: Kalau Orang Asing, Gak Ada Lagi Titipan

R24/zura
Prabowo Mau Ganti Posisi Penting BUMN dari Pekerja Asing.
Prabowo Mau Ganti Posisi Penting BUMN dari Pekerja Asing.

RIAU24.COM - Presiden Prabowo Subianto tampaknya benar-benar mulai menyalakan mesin reformasi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Bukan sekadar mengganti nama atau posisi, tetapi mengutak-atik akar persoalan yang selama ini tak tersentuh: dominasi politik, titipan kekuasaan, dan budaya rente yang melekat di jantung birokrasi ekonomi negara.

Dalam langkah yang memicu perdebatan publik, Prabowo membuka kemungkinan menunjuk warga negara asing untuk menduduki jabatan strategis sebagai direksi maupun komisaris di perusahaan pelat merah.

Sebuah langkah yang oleh sebagian pihak dianggap radikal, bahkan berisiko secara politik. 

Namun bagi mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, keputusan itu justru merupakan langkah penyelamatan terakhir—sebuah upaya darurat menyelamatkan BUMN dari kehancuran internal yang disebabkan oleh loyalitas politik dan jaringan patronase.

Dalam perbincangan panjang di program YouTube Bikin Terang, Said Didu berbicara tanpa banyak sensor. Nada suaranya tegas, kalimatnya menusuk. Ia mengakui bahwa hampir setiap posisi penting di BUMN selama bertahun-tahun adalah hasil kompromi antara kepentingan partai dan elite ekonomi. 

“Saya pernah menyeleksi hampir sepuluh ribu calon direksi,” katanya pelan, sebelum menambahkan, “Yang paling banyak penitipnya, itu yang saya coret pertama.” 

Kalimat sederhana itu menggambarkan betapa dalamnya praktik titipan jabatan di tubuh perusahaan negara yang mengelola triliunan rupiah uang publik.

Said percaya, hanya dengan menghapus ruang kompromi politik itulah BUMN bisa pulih. Karena itu, ide menunjuk warga asing, katanya, bukan untuk melemahkan kedaulatan, melainkan untuk menutup jalur lobi. 

“Kalau orang asing, siapa yang mau menekan? Yang mau menekan saja mungkin bahasa Inggrisnya tidak bisa,” ujarnya sinis. 

Dalam pandangannya, kehadiran profesional luar negeri bisa menjadi shock therapy yang menyingkirkan budaya ‘titipan’ sekaligus menegaskan profesionalisme manajerial yang selama ini hilang di BUMN.

Ia menyadari langkah ini akan menimbulkan resistensi besar. Tapi, seperti ia sampaikan, “Ini darurat.” Baginya, situasi ini bukan lagi soal nasionalisme simbolik, tetapi soal kebersihan tata kelola. 

BUMN, katanya, terlalu lama menjadi ajang kompromi kekuasaan, tempat membayar utang politik, serta sarana mengamankan kepentingan kelompok tertentu di balik jargon pembangunan.

Dalam perbincangan yang sama, Said menggambarkan Prabowo sebagai pemimpin yang kini tak lagi bermain aman. Ia menggunakan metafora yang tajam: “Makan bubur panas dari tengah.” Istilah itu menggambarkan keberanian Prabowo yang mulai mengeksekusi sektor paling panas, paling berisiko, dan paling sarat kepentingan. 

Ia menyinggung sejumlah nama dan jabatan—Rosan Roeslani, Purbaya Yudhi Sadewa, hingga beberapa menteri lama—yang kini berada di pusaran proses “bersih-bersih” itu. 

“Sekarang dia suruh Rosan makan bubur panas,” ujarnya. “Menggusur semua komisaris BUMN dari tim sukses, relawan, dan caleg gagal.”

Bagi Said, langkah itu menandai perubahan arah kekuasaan. Jika selama ini struktur ekonomi dikendalikan oleh kelompok kecil yang ia sebut sebagai oligarki, kini pemerintah tampak mulai berani menyentuhnya. 

Ia menyebut tindakan Prabowo sebagai “makan dari tengah”—metafora yang berarti langsung menantang pusat api, bukan lagi bermain di pinggir.

Salah satu figur yang disebutnya berada di garis depan perubahan itu adalah Purbaya Yudhi Sadewa, pejabat yang menurutnya kini sedang “melawan semua pihak.” Said menyebut Purbaya sebagai sosok yang memilih berdiri di tengah badai, menghadapi tekanan dari berbagai arah, dan tetap berjalan. 

“Kalau berhadapan dengan semua pihak itu lebih bagus. Jangan berteman dalam dengan salah satu musuh,” katanya. Ia menilai pilihan itu berat, tetapi perlu. “Lebih baik dihadapi semua daripada punya satu teman yang sebenarnya juga perampok.”

Pernyataan itu terdengar seperti sindiran langsung kepada lingkar kekuasaan lama yang selama bertahun-tahun berkolaborasi menjaga status quo di BUMN. 

Dalam narasinya, Prabowo dan Purbaya digambarkan sedang menghadapi struktur lama yang selama ini beroperasi di bawah radar: jaringan birokrat, pengusaha, hingga politisi yang menjadikan BUMN sebagai sumber patronase dan dana politik.

Said menegaskan, akar masalah bukan sekadar pada figur-figur individu, tetapi pada sistem yang membiarkan BUMN menjadi instrumen politik, bukan instrumen ekonomi. Ia menilai Prabowo kini berusaha mengembalikan fungsi BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional yang bebas dari intervensi. 

“Negara ini cuma bisa diselamatkan dengan mematikan perampok-perampok itu,” katanya tanpa tedeng aling-aling.

Dalam bagian lain, ia menyinggung pencabutan status proyek strategis nasional (PSN) untuk kawasan PIK 2 sebagai bukti nyata perubahan arah kekuasaan. 

Menurutnya, keputusan itu adalah sinyal tegas dari Prabowo bahwa pemerintahannya tidak lagi tunduk pada jaringan bisnis yang selama ini “dipelihara” rezim sebelumnya. 

“Itu sinyal ke Jokowi dan kroninya: orang yang kau pelihara, aku enggak butuh lagi,” ujarnya.

“Pemimpinnya ganti-ganti, tapi yang kuasai ekonomi itu-itu saja,” katanya. 

Dalam pandangannya, Prabowo memahami paradoks besar Indonesia: negara kaya, rakyat miskin; sumber daya berlimpah, tapi keuntungan dikuasai segelintir orang. Reformasi ekonomi, menurutnya, hanya bisa terjadi jika oligarki dipaksa keluar dari dapur kekuasaan.

Ia bahkan menyerukan agar para pengusaha besar segera melakukan “tobat nasional.” 

“Yang halal, jalankan. Yang enggak halal, kembalikan aja,” ujarnya. 

Ia menyebut jutaan hektare lahan sawit dan tambang yang selama ini dikuasai oleh korporasi besar tanpa kejelasan izin sebagai simbol ketimpangan yang harus diakhiri.

Namun di balik nada kerasnya, terselip kesadaran bahwa pertarungan ini tidak mudah. Said tahu perlawanan akan datang dari banyak arah—dari kelompok politik lama, jaringan bisnis besar, hingga aparat birokrasi yang merasa kehilangan kenyamanan. 

Tapi ia yakin, bila publik sudah melihat arah perubahan, tekanan dari bawah akan menjaga momentum reformasi. 

“Kalau rakyat sudah dibalik, elit-elit tidak akan berani lagi melawan,” katanya menutup pembicaraan.

Di tengah kritik dan pujian terhadap langkah-langkah awal pemerintahan Prabowo, narasi yang dibawa Said Didu membuka potret lebih dalam dari pergulatan kekuasaan ekonomi Indonesia.

Ini bukan sekadar cerita tentang BUMN, tetapi tentang siapa yang sebenarnya mengendalikan aset negara dan bagaimana upaya mengembalikannya ke tangan publik.

Sampai sejauh ini, Prabowo belum memberikan pernyataan resmi lebih lanjut mengenai kemungkinan penunjukan WNA di BUMN.

(***) 
 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak