Sidang Putusan Praperadilan Mahasiswa Unri Khariq Anhar Demo DPR Agustus Ditolak

R24/zura
Sidang Putusan Praperadilan Mahasiswa Unri Khariq Anhar Demo DPR Agustus Ditolak.
Sidang Putusan Praperadilan Mahasiswa Unri Khariq Anhar Demo DPR Agustus Ditolak.

RIAU24.COM -Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (27/10), menandai babak baru dalam kontroversi hukum yang menyeret nama mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar

Hakim tunggal Sulistyo Muhamad Dwi Putro menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan Khariq—sekaligus menegaskan bahwa status tersangka dalam kasus dugaan penghasutan dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu sah secara hukum.

Namun di balik putusan yang tampak prosedural, terhampar pertanyaan mendasar: apakah ini semata proses hukum, atau cermin dari makin sempitnya ruang kritik terhadap negara?

Dari Demonstrasi ke Meja Hijau

Kasus ini bermula dari demonstrasi yang digelar oleh sejumlah aktivis dan mahasiswa beberapa waktu lalu—aksi yang menyoroti kebijakan pemerintah dan dianggap sebagai bentuk ekspresi politik yang sah dalam demokrasi. Khariq, bersama tiga aktivis lain, Delpedro Marhaen (Direktur Lokataru Foundation), Muzaffar Salim (staf Lokataru), dan Syahdan Husein (admin akun Instagram @gejayanmemanggil), kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Polda Metro Jaya menuding mereka melakukan penghasutan publik melalui media sosial, yang berujung pada pelanggaran UU ITE. Tuduhan ini sontak memicu reaksi dari kelompok masyarakat sipil yang menilai bahwa pasal-pasal karet UU ITE kembali digunakan sebagai alat pembungkaman.

“Ini bukan sekadar kasus hukum, ini ujian terhadap komitmen demokrasi,” ujar salah satu pengacara dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD).

Dalam amar putusannya, hakim menegaskan dua hal penting: Penetapan tersangka oleh penyidik sah secara hukum.

Penyitaan barang bukti, termasuk perangkat komunikasi dan dokumen digital, juga dianggap sesuai prosedur.

“Mengadili, menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya,” tegas Hakim Sulistyo dalam sidang perkara Nomor 131/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL.

Namun, di sinilah persoalan substantif muncul. Pengamat hukum menilai bahwa putusan semacam ini seringkali berhenti pada aspek formil—yakni menilai legalitas administratif tindakan penyidik—tanpa menyentuh persoalan esensial: apakah penetapan tersangka terhadap aktivis yang menyuarakan kritik publik layak secara substansi hukum dan etika demokrasi.

“UU ITE masih menjadi senjata ampuh untuk menjerat mereka yang kritis terhadap kekuasaan,” kata salah satu peneliti hukum dari ICJR (Institute for Criminal Justice Reform).

Pelimpahan Perkara dan Bayang Represi

Sementara itu, Polda Metro Jaya telah melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Jika berkas dinyatakan lengkap (P21), maka penyidik akan segera melanjutkan ke tahap II, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti.

Tahapan hukum itu tampak berjalan rapi. Tapi bagi kelompok masyarakat sipil, proses ini bukan sekadar soal kepastian hukum, melainkan tentang arah demokrasi yang kian kabur.

Kasus Khariq Anhar dan rekan-rekannya mengingatkan pada pola yang sama di sejumlah kasus sebelumnya: kriminalisasi terhadap aktivis dan mahasiswa yang mengorganisir protes publik. Dari tagar di media sosial hingga orasi di jalanan, ruang dissent kini diatur dengan ketat dalam bingkai hukum yang lentur.

Investigasi: Pola Lama dalam Baju Baru

Penelusuran terhadap pola penanganan kasus semacam ini menunjukkan tren yang berulang:

Aktivis disasar lewat pasal penghasutan atau penyebaran berita bohong dalam UU ITE.

Barang bukti digital disita tanpa verifikasi forensik independen.

Praperadilan ditolak dengan alasan formalitas hukum, tanpa memeriksa motif politis di balik penetapan tersangka.

Para pengacara yang tergabung dalam TAUD mencatat, penyitaan perangkat pribadi Khariq dilakukan tanpa kehadiran saksi yang independen. “Itu bentuk pelanggaran prosedur yang mestinya jadi perhatian hakim,” kata salah satu anggota tim advokasi.

Demokrasi di Ujung Praperadilan

Kasus ini kini menjadi cermin: apakah peradilan Indonesia hanya bekerja untuk menjustifikasi tindakan aparat, ataukah masih menyisakan ruang bagi perlindungan hak-hak warga negara?

Khariq Anhar, seorang mahasiswa, kini menjadi simbol dari paradoks kebebasan berpendapat di era digital—ketika demonstrasi bisa dianggap penghasutan, dan kritik dikategorikan ancaman.

“Kalau ekspresi mahasiswa dipidana, maka demokrasi tinggal nama,” ujar seorang aktivis HAM dalam keterangan terpisah.

Investigasi ini menunjukkan satu hal: proses hukum boleh berjalan sesuai prosedur, tapi substansi keadilan masih jauh dari harapan. Di balik istilah “sah secara hukum”, ada potensi penyalahgunaan hukum untuk membungkam suara yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak