RIAU24.COM -Kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Utara (sumut) Bobby Nasution, yang melarang kendaraan berplat BL (Aceh) melintas di wilayah Sumut, tengah jadi sorotan publik.
Publik pun bertanya: apakah kebijakan itu benar-benar berdiri di atas landasan hukum? atau justru jurus membuka ruang diskriminasi dan gesekan antar wilayah yang sebenarnya bisa dihindari?
Dilihat dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. kendaraan pribadi berhak melintas di seluruh wilayah Indonesia selama memiliki STNK yang sah dan pajak kendaraan hidup.
Kendaraan angkutan umum dan logistik wajib mengantongi izin trayek bila beroperasi lintas provinsi. Untuk trayek antarprovinsi, izin dikeluarkan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Pasal 173–177).
Artinya, larangan hanya bisa dikenakan pada kendaraan angkutan umum atau logistik yang tidak memiliki izin trayek lintas provinsi. Jika aturan itu justru berlaku untuk semua kendaraan, termasuk mobil pribadi berplat BL, maka dasar hukumnya jelas lemah.
Selain soal izin trayek, ada pula persoalan pajak daerah yang kerap memicu ketegangan antarwilayah. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), kendaraan bermotor masuk dalam objek pajak provinsi.
PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) dan BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) merupakan salah satu sumber utama pendapatan provinsi.
Kendaraan niaga atau komersial yang beroperasi di luar provinsi asal sering dianggap tidak adil jika hanya membayar pajak di daerah asal (misalnya Aceh), tapi mendapat keuntungan dari aktivitas ekonomi di provinsi lain (misalnya Sumut).
Dari sinilah muncul gesekan provinsi tujuan merasa hanya menanggung beban jalan, tapi tidak mendapat bagian dari pajak kendaraan tersebut.
Namun, penyelesaian masalah ini tidak bisa dengan larangan sepihak, UU HKPD sendiri membuka jalan bagi mekanisme bagi hasil dan kerja sama antarprovinsi (Pasal 94–97), termasuk dalam urusan pajak kendaraan lintas wilayah. Jadi, jika Sumut merasa dirugikan, seharusnya ditempuh jalur kerja sama fiskal antarprovinsi dengan fasilitasi pemerintah pusat, bukan dengan menutup pintu bagi kendaraan berplat BL.
Sumatera Utara dan Aceh punya hubungan yang lebih dalam dari sekadar berbatasan administratif. Ribuan orang melintas setiap hari untuk berdagang, sekolah, bekerja, atau sekadar menjenguk keluarga. Membatasi mobilitas mereka tanpa komunikasi yang matang hanya akan menumbuhkan kecurigaan, bahkan memicu konflik sosial.
Apalagi, Aceh memiliki kekhususan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga setiap kebijakan yang menyentuh wilayah ini semestinya dilakukan dengan pertimbangan ekstra hati-hati.
(***)