Sengkarut Masalah di Balik Ribuan Anak Keracunan Makanan Bergizi Gratis

R24/dev
Sengkarut Masalah di Balik Ribuan Anak Keracunan Makanan Bergizi Gratis
Sengkarut Masalah di Balik Ribuan Anak Keracunan Makanan Bergizi Gratis

RIAU24.COM Program makan bergizi gratis (MBG) yang sedang digencarkan pemerintah kembali menuai kritik setelah berulang kali terjadi kasus keracunan pangan di berbagai daerah. Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menilai kejadian ini bukanlah insiden wajar, melainkan sinyal kegagalan sistemik dalam tata kelola keamanan pangan.

"Ini bukan soal sekali-dua kali salah masak. Ini kegagalan sistemik food safety dan governance pengadaan," ujar Dicky kepada detikcom, Jumat (26/9/2025).

Menurut Dicky, pola keracunan yang berulang dan bahkan terjadi lintas daerah hampir selalu mengindikasikan adanya masalah di banyak titik rantai makanan.

Masalah pertama biasanya muncul dari kontrol suhu dan waktu. Dalam standar internasional, makanan tidak boleh terlalu lama berada di 'zona bahaya' antara 5 sampai 60 derajat Celsius, karena pada rentang ini bakteri berkembang biak sangat cepat.

Idealnya ada aturan praktis yang disebut '2-jam/4-jam rule', tetapi di lapangan sering dilanggar. Pendinginan cepat menggunakan teknologi seperti blast chiller jarang tersedia, begitu pula fasilitas penyimpanan panas. Akibatnya, makanan yang seharusnya aman justru menjadi medium pertumbuhan bakteri.

Kedua, sistem distribusi dan logistik juga sering tidak sesuai dengan kebutuhan. Banyak makanan yang harus menempuh perjalanan jauh tanpa wadah dingin khusus atau data logger untuk memantau suhu. Kemasan pun kerap tidak kedap udara dan mudah disusupi bakteri.

Ketiga, higiene dan sanitasi dapur, menurutnya masih menjadi persoalan klasik. Mulai dari cuci tangan yang tidak disiplin, peralatan masak yang bercampur antara bahan mentah dan matang, hingga air bersih yang tidak terjamin. Kontaminasi silang menjadi hal sangat mungkin terjadi, apalagi jika tidak ada sistem kontrol hama.

Selain itu, kualitas bahan baku dan pemasok juga rawan. Banyak bahan pangan berisiko tinggi seperti telur, ayam, nasi, santan, atau saus kelapa tidak melalui proses uji mikrobiologi maupun sertifikasi. Dalam praktiknya, pergantian pemasok lebih sering didasarkan pada harga murah atau kejar volume, bukan pada rekam jejak keamanan pangan.

"Tak kalah penting adalah lemahnya sistem mutu dan tata kelola. Standar seperti HACCP atau ISO 22000 yang seharusnya memastikan keamanan pangan, sering kali hanya berhenti di tataran administratif. Audit dilakukan sebatas dokumen, tanpa menelusuri kondisi nyata di lapangan. Kontrak pengadaan pun tidak mencantumkan aturan ketat tentang suhu dan waktu penyajian, apalagi sanksi, mekanisme recall, atau asuransi jika terjadi insiden," sorotnya.

"Terakhir, perencanaan menu juga sering tidak adaptif. Menu dengan bahan rawan, misalnya berbasis santan atau saus basah, tetap disajikan walaupun disimpan berjam-jam pada suhu ruang. Padahal, jenis makanan seperti ini justru paling sering memicu insiden keracunan," lanjutnya.

Tidak Bisa Disamaratakan

Dicky menekankan, Indonesia tidak bisa memaksakan satu model penyediaan makanan untuk seluruh wilayah. "Konteks kita besar, bukan hanya geografis, tapi juga budaya dan akses. Kalau dipaksakan seragam, justru berisiko," jelasnya.

Menurutnya, konsep hybrid lebih realistis. Di kota besar, sekolah bisa bekerja sama dengan katering berskala besar yang memiliki rantai dingin dan sistem distribusi digital. Di daerah dengan akses sedang, penyediaan makanan bisa melibatkan warung atau unit pangan lokal dengan pengawasan ketat dari dinas kesehatan.

Sementara itu, untuk wilayah terpencil dengan transportasi sulit, pendekatan berbeda diperlukan: misalnya penyediaan dry pack atau ready-to-cook pack seperti abon atau kacang kedelai. Produk-produk ini lebih tahan lama, bergizi tinggi, bisa difortifikasi dengan zat besi, vitamin A, serta protein hewani, dan juga berfungsi sebagai cadangan darurat (emergency supply).

"Tantangan berikutnya tentu variasi menu agar anak tidak bosan. Tapi secara gizi dan keamanan jauh lebih aman ketimbang memaksakan satu model distribusi nasional," tambahnya.

Belajar dari Negara Lain

Dicky menegaskan, kunci keberhasilan program makan sekolah di berbagai negara terletak pada disiplin standar keamanan pangan dan transparansi penuh pada publik. Pemerintah harus berani membuka data secara apa adanya, termasuk jika ada kelemahan atau temuan lapangan.

"Kalau mau MBG berhasil, Indonesia harus transparan, adaptif pada kondisi tiap daerah, dan tidak hanya berhenti pada administrasi di atas kertas. Standar keamanan pangan dan gizi harus nyata dijalankan di lapangan," pungkasnya. ***

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak