RIAU24.COM -Langkah Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Reformasi Polri menuai sorotan.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, mempertanyakan waktu dan urgensi pembentukan tim tersebut.
Dirinya menilai pembentukan Tim Reformasi Polri tumpang tindih dengan rencana reformasi yang tengah disiapkan Presiden RI, Prabowo Subianto.
Hal tersebut disampaikan Said Didu lewat twitter atau X pribadinya @msaid_didu pada Senin (22/9/2025).
Diketahui, Tim Reformasi Polri dibentuk Kapolri berdasarkan Surat Perintah Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025 yang ditandatangani pada 17 September 2025.
Tim yang beranggotakan 52 personel Polri ini diumumkan ke publik pada Senin (22/9/2025).
Padahal, Pemerintah sendiri melalui Menko Polhukam telah menyampaikan tim reformasi versi Presiden akan diumumkan akhir September 2025.
Dalam pernyataannya, Said Didu menyebut pembentukan Tim Reformasi Polri oleh Kapolri sebelum terbentuknya tim resmi dari Presiden dapat menimbulkan tafsir adanya resistensi internal.
Pasalnya, pembentukan tim dilakukan di tengah proses penunjukan Jenderal (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Staf Ahli Presiden bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat serta Reformasi Polri.
Penunjukan Ahmad Dofiri itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 97/P Tahun 2025 dan diumumkan secara resmi dalam reshuffle kabinet pada Rabu (17/9/2025).
“Pembentukan Tim Reformasi Polri oleh Kapolri apakah bentuk 'perlawanan' dari dalam kepada Presiden?” tanya Said Didu di akun X pribadi miliknya @msaid_didu, dikutip Jumat (26/9/2025).
Ia menyoroti kesamaan tanggal antara Sprin pembentukan Tim Reformasi oleh Kapolri dengan pengangkatan Ahmad Dofiri sebagai Penasehat Khusus Presiden, yakni 17 September 2025.
Namun, menurutnya, tidak ada indikasi kedua inisiatif ini saling terkoordinasi.
"Berdasarkan pertimbangan tata kelola pemerintahan dan prinsip loyalitas, bahwa langkah pembentukan Tim Reformasi oleh Kapolri tidak wajar," ungkap Said Didu.
"Dapat diduga bahwa terjadi 'perlawanan' dari internal Polri teradap keinginan Presiden (sesuai aspirasi rakyat) untuk melakukan reformasi Polri," jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto mempercayakan Reformasi Polri kepada mantan Wakil Kapolri (Wakapolri) Purnawirawan Jenderal Ahmad Dofiri.
Kepercayaan Prabowo Subianto itu bisa dilihat dari pengangkatan Ahmad Dofiri sebagai Staf Ahli Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) dan Reformasi Polri.
Prabowo Subianto resmi mengadakan jabatan Staf Ahli Presiden Kamtibmas dan Reformasi Polri dalam reshuffle kabinet pada Rabu (17/9/2025).
Pengadaan jabatan baru ini muncul setelah isu Prabowo Subianto yang mendorong adanya reformasi di tubuh Polri.
Reformasi Polri menjadi salah satu tuntutan pengunjuk rasa setelah sebelumnya seorang pengemudi ojek online (Ojol) tewas terlindas kendaraan taktis (Rantis) Brimob dalam aksi unjuk rasa sepekan di berbagai wilayah Indonesia.
Ahmad Dofiri dilantik Prabowo Subianto sebagai Staf Ahli Presiden di Istana Negara, Jakarta.
Fokus Tim Reformasi Polri
Tim Reformasi Polri terdiri dari 52 anggota Polri yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Surat Perintah (Sprin) Nomor: Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025 yang ditandatangani pada 17 September 2025.
Penasihat Kapolri Komjen Pol Purnawirawan Ito Sumardi mengungkapkan apa saja yang menjadi fokus dalam pembenahan di Polri yang akan dilakukan Tim Reformasi Polri.
Ito Sumardi mengungkapkan bahwa hal utama yang akan dibenahi di dalam Polri ialah terkait dengan kultural.
Di mana kata Ito, Polri sangat memahami bahwa kultural Polri saat ini menjadi sorotan masyarakat.
Hal itu lantaran banyak dalam sikap dan perilaku anggota di keseharian dan kedinasan membuat kesal masyarakat.
“Pertama paling krusial adalah kultural yakni sikap dan perilaku anggota dalam keseharian dan kedinasannya, jadi ini yang akan menjadi fokus tim,” ucap Ito seperti dimuat Kompas Tv pada Senin (22/9/2025).
Namun demikian aktivis Usman Hamid menilai bahwa kultural Polri bukan hal yang urgensi untuk membenahi Polri.
Menurutnya, Polri harus fokus mereformasi struktural yang dianggap menjadi biang keladi rusaknya institusi tersebut di mata masyarakat.
Pasalnya kata Usman Hamid, masalah kultural di Polri tentunya terjadi karena adanya masalah di struktural Kepolisian.
“Misalnya gini apakah pihak Kepolisian dalam melakukan kekerasan kepada demonstran murni karena perasaan otonom personal mereka? Kan perasaannya sulit dipisahkan dari kebijakan struktural, kebijakan pemerintah,” tutur Usman.
“Pasalnya ketika pemerintah atau Presiden meminta Polri mengamankan sebuah kebijakan yang di mata masyarakat tidak adil, akibatnya polisi berbenturan dengan masyarakat, jadi bukan karena kultural tadi, tapi karena problem struktur kebijakan di Kepolisiannya yang tidak adil,” jelas Usman.
Diberitakan sebelumnya, Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan mantan Menko Polhukam Mahfud Md serta beberapa mantan Kapolri akan bergabung dalam Tim Reformasi Kepolisian. Prasetyo mengatakan total anggota Tim Reformasi Kepolisian akan berjumlah 9 orang.
Namun Prasetyo belum dapat memastikan Mahfud akan menjadi ketua atau anggota Tim Reformasi Kepolisian. Sebab, kata dia, saat ini belum terdapat penunjukan ketua.
Terpisah, Mahfud mengakui telah menerima tawaran bergabung ke komite tersebut. Ia menyebut telah menyampaikan kesediaannya itu saat bertemu dengan Seskab Teddy Indra Wijaya, pada Selasa (16/9) pekan lalu.
Ia mengatakan kesediaannya untuk terlibat dalam Komite Reformasi Kepolisian itu sebagai bentuk kontribusi kepada negara. Namun, Mahfud tak mengungkap lebih jauh ihwal posisinya dalam tim tersebut.
Mahfud menilai terdapat tiga aspek yang perlu menjadi perhatian untuk perbaikan penegakan hukum oleh Kepolisian. Pertama dari sisi aturan, kemudian dari aparatnya sendiri, dan terakhir budaya.
Sementara itu, Mahfud berpendapat yang mendesak untuk diperbaiki ialah kultur di internal Korps Bhayangkara. Ia mengatakan kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya budaya Kepolisian yang buruk di masyarakat.
(***)