RIAU24.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, membantah pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa pemakzulan terhadap Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa dilakukan dalam satu paket.
Menurut Bivitri, konstitusi justru membolehkan pemberhentian presiden dan wakil presiden dilakukan secara terpisah.
“Pasal 7A dan 7B UUD 1945 jelas menyebutkan ‘presiden dan/atau wakil presiden’. Dalam bahasa hukum, itu berarti bisa keduanya, bisa salah satu,” ujar Bivitri dalam siniar Abraham Samad SPEAK UP yang diunggah pada Rabu (2/7/2025). Ia menekankan bahwa frasa “dan/atau” memungkinkan pemakzulan dilakukan hanya terhadap satu pihak, tanpa harus menyeret yang lain.
Pernyataan ini disampaikan menyusul komentar Jokowi yang menganggap pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka—yang juga putranya—tidak dapat dilakukan secara terpisah dari presiden karena keduanya merupakan satu paket hasil pemilu.
Bivitri menilai klaim Jokowi tidak sekadar salah tafsir konstitusi, tetapi juga berpotensi menjadi upaya politis untuk menyeret nama Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Ia menduga Jokowi merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang pernah mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden dan memungkinkan Gibran maju mendampingi Prabowo.
“Saya menduga Pak Jokowi menyatakan demikian untuk menyiratkan bahwa jika dasarnya Putusan MK 90, maka Pak Prabowo tidak mungkin tidak tahu. Seolah mau mengajak semua ikut bertanggung jawab,” kata Bivitri.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat berhati-hati membaca motif politik di balik narasi tersebut. Menurutnya, partai-partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) saat itu pasti mengetahui konteks dari putusan MK tersebut.
Lebih lanjut, Bivitri menanggapi kritik terhadap surat usulan pemakzulan Gibran yang dilayangkan Forum Purnawirawan TNI ke DPR/MPR. Ia menilai alasan yang dicantumkan dalam surat tersebut memiliki substansi yang perlu diperhatikan lebih dalam.
“Saya sudah baca suratnya. Di bagian bawah ada alasan-alasan lain yang menurut saya justru lebih kuat dibanding bagian atasnya,” ujarnya.
Respons Jokowi: Dinamika Demokrasi
Sementara itu, Presiden Jokowi sebelumnya merespons isu pemakzulan Gibran dengan menyebutnya sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Ia menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi, semua warga negara berhak menyampaikan pendapat, termasuk usulan pemakzulan, asalkan disampaikan melalui jalur yang sah.
“Ya negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya diikuti saja proses sesuai sistem ketatanegaraan negara kita. Bahwa ada yang menyurati seperti itu, itu dinamika demokrasi kita, biasa saja,” ujar Jokowi saat ditemui di Solo, Jumat (6/6/2025).
Namun, Jokowi juga menegaskan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia bersifat paket, berbeda dengan sistem pemilu di Filipina yang memilih secara terpisah. “Pilpres kemarin kan satu paket, bukan sendiri-sendiri. Kayak di Filipina itu bisa sendiri-sendiri, di kita kan satu paket,” tegasnya.
DPR Belum Terima Surat Pemakzulan
Di sisi lain, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan bahwa hingga saat ini pihaknya belum menerima surat usulan pemakzulan Gibran yang diklaim telah dikirim oleh Forum Purnawirawan TNI hampir dua bulan lalu.
“Kita akan cek ulang. Kalau memang surat itu ada, pasti akan masuk ke pimpinan DPR,” kata Puan saat dikonfirmasi, Kamis (3/7/2025).
Surat tersebut sebelumnya disebut-sebut berisi alasan-alasan konstitusional yang dijadikan dasar pemakzulan terhadap Gibran. Namun keterlambatan dalam distribusi surat memunculkan pertanyaan soal mekanisme administratif di tubuh DPR.
Dengan berkembangnya wacana pemakzulan ini, diskursus publik kini berpusat pada validitas hukum dan arah politik pasca Pilpres 2024. Bivitri Susanti mengingatkan bahwa diskusi pemakzulan seharusnya tidak dibelokkan menjadi alat politik balasan, melainkan diuji berdasarkan ketentuan hukum dan tata negara yang berlaku.
(***)