Kritik dan Penolakan KUHAP Baru, Disebut Jadikan Polisi Superpower

R24/zura
Kritik dan Penolakan KUHAP Baru, Disebut Jadikan Polisi Superpower. (X/Foto)
Kritik dan Penolakan KUHAP Baru, Disebut Jadikan Polisi Superpower. (X/Foto)

RIAU24.COM -Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan kembali memicu perdebatan tajam di ruang publik. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai sejumlah pasal dalam aturan baru tersebut membuka peluang bagi aparat kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.

Pasal-pasal yang dikritisi koalisi tidak mengalami perubahan saat disahkan DPR. 

Pasal-pasal tersebut terutama berkaitan dengan kewenangan penangkapan, penahanan, hingga tindakan penyelidikan khusus, yang dianggap tidak memiliki mekanisme kontrol memadai.

Pada sisi lain, Komisi III DPR bersikukuh KUHAP justru menyelaraskan sistem penegakan hukum dengan amanat konstitusi dan memastikan adanya mekanisme check and balances.

Perdebatan ini memperlihatkan tarik-menarik antara kebutuhan memperkuat penegakan hukum dan tuntutan menjaga hak-hak warga negara agar tidak tergerus.

Kesewenangan dalam Penangkapan  

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia (AII), Nurina Savitri paling vokal menyoroti pasal-pasal bermasalah, terutama Pasal 93.

Menurutnya, ketentuan baru dalam KUHAP berpotensi mengulang praktik penangkapan massal tanpa prosedur yang terjadi pada Agustus 2025.

Dalam pasal tersebut, polisi diberi kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan tanpa memerlukan izin pengadilan. 

Hal ini bertentangan dengan mekanisme kontrol yudisial terhadap penahanan yang merupakan prinsip fundamental dalam sistem peradilan modern. Tanpa mekanisme tersebut, risiko penyalahgunaan wewenang akan semakin besar.

Ia menambahkan, syarat penahanan pada pasal tersebut sangat subjektif dan sepenuhnya berada di tangan penyidik. 

Seorang tersangka dapat ditahan hanya karena dianggap tidak kooperatif, dianggap menghambat pemeriksaan, atau dinilai memengaruhi saksi.

Pasal Bermasalah

Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, memberikan perspektif berbeda. Ia mempertanyakan dasar penilaian pasal-pasal tertentu dalam KUHAP dianggap bermasalah. Menurutnya, istilah powerful atau superpower perlu dilihat secara proporsional.

“Bermasalah itu ukurannya apa? Apa maksudnya penyidik powerful? Memangnya jaksa dan hakim tidak powerful?” ujarnya kepada Beritasatu.com, Rabu (19/11/2025).

Huda menilai banyak ketentuan yang dikritik sebenarnya sudah ada dalam KUHAP lama, termasuk soal koordinasi PPNS dengan Polri. Terkait hal itu, dia menilai aneh jika ketentuan yang sama tiba-tiba dianggap bermasalah setelah direvisi.

Ia juga menegaskan KUHAP justru memperkuat banyak pihak, termasuk advokat, korban, dan tersangka/terdakwa melalui penguatan hak-haknya. Dengan demikian, ia menilai kekhawatiran bahwa polisi menjadi terlalu dominan dalam penegakan hukum perlu dilihat secara lebih komprehensif.

(***) 
 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak