Analisis Fitra: Tambahan Penghasilan ASN Riau Membengkak, Prioritas Pembangunan Dipertanyakan

R24/riko
Tarmidzi
Tarmidzi

RIAU24.COM - Alokasi belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau tahun 2025 mencapai Rp2,96 triliun, atau sekitar 30,5 persen dari total belanja daerah sebesar Rp9,69 triliun. Angka ini sedikit melampaui batas maksimal mandatory spending belanja pegawai yang ditetapkan sebesar 30 persen, sehingga memunculkan kekhawatiran terkait ruang fiskal yang semakin sempit untuk belanja publik.

Lembaga Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau menyoroti khusus besarnya komponen Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dalam struktur belanja pegawai tersebut. Dari total belanja pegawai, TPP ASN mencapai Rp1,43 triliun atau setara 48,4 persen, hampir menyamai porsi gaji dan tunjangan ASN yang sebesar Rp1,45 triliun (49,3 persen).

“Ketika TPP porsinya setara dengan gaji pokok, maka muncul pertanyaan apakah mekanisme pemberian TPP benar-benar berlandaskan prestasi kerja, atau sekadar menjadi ‘gaji kedua’ yang sifatnya otomatis,” ujar Koordinator Fitra Riau, Tarmidzi, dalam siaran persnya, Senin (15/9).

Menurut Fitra, besarnya anggaran TPP berpotensi menciptakan distorsi insentif dalam birokrasi. TPP yang seharusnya menjadi insentif berbasis kinerja, dinilai justru telah menjadi komponen belanja rutin. Hal ini dinilai bertentangan dengan tujuan awal kebijakan TPP sebagai alat peningkat produktivitas aparatur sipil negara (ASN) dan pelayanan publik.

Sebagai informasi, kebijakan TPP diatur melalui Peraturan Gubernur Riau Nomor 59 Tahun 2021, yang menyebutkan bahwa TPP diberikan berdasarkan indikator objektif seperti beban kerja, kondisi kerja, lokasi penugasan, kelangkaan profesi, dan kinerja individu. Namun, Fitra menilai implementasi regulasi tersebut belum transparan dan belum menunjukkan korelasi langsung dengan peningkatan kinerja ASN.

“Tanpa evaluasi yang terbuka, sulit memastikan bahwa pemberian TPP memang sesuai dengan parameter kinerja yang diatur dalam Pergub,” tambah Tarmidzi.

Selain mengkritik tingginya alokasi belanja pegawai, Fitra juga menyoroti dampaknya terhadap belanja pembangunan. Menurut mereka, komposisi APBD yang berat ke belanja aparatur akan menyempitkan ruang fiskal untuk membiayai program-program pembangunan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat.

Fitra Riau merekomendasikan tiga langkah strategis kepada Pemerintah Provinsi dan DPRD Riau:

Transparansi mekanisme pengukuran kinerja ASN sebagai dasar pemberian TPP, agar bisa dinilai publik secara objektif.

Penguatan fungsi pengawasan oleh DPRD Riau, untuk mencegah TPP menjadi belanja rutin tanpa pertanggungjawaban kinerja.

Audit efektivitas TPP, guna mengevaluasi apakah tambahan penghasilan tersebut berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik.

“APBD tidak boleh hanya menjadi alat pemenuh kesejahteraan aparatur, tapi harus menjadi instrumen pembangunan yang adil dan berpihak pada masyarakat,” tegas Tarmidzi.

Fitra juga mengingatkan bahwa kecenderungan belanja pegawai yang terus meningkat tanpa evaluasi dapat menggeser prioritas pembangunan publik. Jika tidak dikendalikan, kebijakan ini berisiko menimbulkan ketimpangan dalam penggunaan anggaran daerah dan merugikan masyarakat luas.

 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak