Bebasnya Hasto dan Tom Lembong Picu Polemik, Publik Pertanyakan Dugaan "Pesanan Solo"

R24/zura
Bebasnya Hasto dan Tom Lembong Picu Polemik, Publik Pertanyakan Dugaan
Bebasnya Hasto dan Tom Lembong Picu Polemik, Publik Pertanyakan Dugaan "Pesanan Solo".

RIAU24.COM Pembebasan Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong melalui skema abolisi dan amnesti menuai sorotan tajam.

Langkah Presiden Prabowo Subianto tersebut dinilai sebagai langkah berani yang sarat muatan politis, sekaligus memicu kembali kontroversi soal dugaan kriminalisasi berbasis “pesanan politik”.

Dalam siaran langsung program Rakyat Bersuara yang dipandu Aiman Witjaksono, sejumlah narasumber mengupas tuntas peristiwa yang dianggap sebagai babak baru dalam sejarah hukum Indonesia.

Untuk pertama kalinya, seorang terpidana dan terdakwa kasus korupsi dibebaskan bukan karena putusan pengadilan, melainkan karena kebijakan pengampunan presiden.

"Sejak awal saya merasa bahwa ini bukan proses hukum yang ideal. Jangan ada lagi penegak hukum bermain-main dengan pesanan, apalagi pesanan dari Solo," ujar Hasto Kristiyanto sesaat setelah dibebaskan. Pernyataan tersebut memicu spekulasi bahwa keputusan hukum terhadap dirinya tak lepas dari intervensi kekuasaan.

Hal serupa disampaikan oleh mantan Kepala BKPM, Tom Lembong. Dalam diskusi, muncul pertanyaan serius dari sejumlah pakar hukum tata negara seperti Feri Amsari dan Muhammad Ruliandi: Jika Tom Lembong bersalah karena dugaan kerugian negara akibat impor gula, mengapa enam menteri perdagangan sebelumnya tidak diproses atas tindakan serupa?

Pengamat hukum Saur Siagian menilai pembebasan Hasto dan Tom melalui jalur konstitusional, bukan semata kemenangan dalam pengadilan. Namun, ia mengingatkan bahwa langkah ini bisa menjadi preseden berbahaya jika tidak dibarengi dengan transparansi dan pertanggungjawaban hukum yang jelas.

Sementara itu, Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, secara terbuka menyebut adanya “pesanan dari Solo” sebagai faktor yang mengiringi proses hukum terhadap Hasto.

Namun tudingan ini dibantah oleh pihak Istana dan beberapa pakar lain, yang menyatakan bahwa keputusan abolisi dan amnesti berada sepenuhnya dalam domain kewenangan Presiden Prabowo saat ini.

“Kalau ini memang pesanan dari Solo, pertanyaannya: apa sebenarnya dosa Tom dan Hasto terhadap Pak Jokowi?” cetus Feri Amsari dalam diskusi yang memanas.

Presiden Prabowo Subianto, melalui pernyataan resmi, menyatakan bahwa abolisi dan amnesti diberikan sebagai wujud upaya rekonsiliasi nasional. Dalam pandangannya, kedua tokoh itu menjadi korban situasi politik masa lalu yang tidak sehat.

“Ini adalah hak prerogatif presiden yang digunakan dalam konteks membangun kembali persatuan nasional,” kata salah satu staf presiden yang tidak disebutkan namanya. “Pak Prabowo ingin menutup lembaran lama yang penuh ketegangan politik dan memulai babak baru untuk Indonesia.”

Namun, tidak semua pihak sependapat. Beberapa kalangan menilai bahwa keputusan ini justru memperkuat dugaan bahwa penegakan hukum bisa dimanipulasi lewat kekuasaan. Apalagi jika motif pembebasan tak sepenuhnya dijelaskan kepada publik secara transparan.

Isu ini juga kembali membuka perdebatan tentang hubungan kekuasaan antara pemerintahan baru Prabowo dengan bayang-bayang pengaruh pemerintahan lama Jokowi.

Banyak pihak mempertanyakan, sejauh mana Presiden Jokowi masih memiliki pengaruh dalam lembaga penegak hukum, khususnya dalam konteks KPK dan Kejaksaan Agung.

“Kalau memang ada pesanan, tunjukkan buktinya. Tapi jangan abaikan bahwa sistem hukum kita sedang dipertaruhkan,” ujar praktisi hukum Fitra Romadoni dalam forum yang sama.

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Presiden Jokowi terkait tudingan yang mengaitkan dirinya dengan kasus ini. Namun sejumlah pembela menyatakan, keputusan Prabowo untuk memberi abolisi dan amnesti bukanlah koreksi terhadap pemerintahan sebelumnya, melainkan keputusan politik berdasar pada semangat rekonsiliasi nasional.

Pembebasan ini pun disebut sebagai momentum penting yang bisa menentukan arah hubungan kekuasaan ke depan. Apakah benar ini bagian dari transisi ke era baru yang lebih independen dari bayang-bayang lama? Atau justru awal dari praktik politik balas budi?

Yang pasti, masyarakat kini menunggu: apakah pengampunan ini akan berlaku adil bagi semua pihak? Atau hanya menjadi simbol dari “kemerdekaan” politik yang dipilih secara selektif?

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak