RIAU24.COM - Pengamat politik Rocky Gerung memperkirakan akan terjadi perombakan besar di tubuh pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto setelah peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Ia menyebut hal ini sebagai radical break, yakni momentum politik yang akan menandai pemisahan tegas dari pengaruh Presiden Joko Widodo dalam pemerintahan ke depan.
Dalam perbincangan di kanal YouTube Rakyat Bersuara, Rocky menyebut istilah “radical break” sebagai bentuk koreksi atas “perjanjian kotor” antara pihak-pihak tertentu dengan lembaga peradilan. Ia merujuk pada keputusan Presiden Prabowo untuk memberikan abolisi dan amnesti sebagai langkah simbolik untuk membersihkan warisan politik dari pemerintahan sebelumnya.
“Setelah 17 Agustus pasti akan ada radical break,” ujar Rocky. “Saya enggak enak bilang reshuffle. Tapi ini soal membersihkan ampas dari pengaruh Jokowi. Piring dicuci, tapi masih ada tempat sampahnya. Harus dibersihkan juga,” katanya.
Rocky bahkan menyamakan situasi ini dengan alur cerita film I Know What You Did Last Summer, di mana “kejahatan masa lalu” pada akhirnya terbongkar. Dalam konteks ini, ia mengisyaratkan bahwa Prabowo mengetahui secara intuisi apa yang terjadi selama pemerintahan Jokowi, tetapi memilih tidak menyebutkannya secara eksplisit.
“Presiden tahu apa yang akan terjadi kalau dia tidak melakukan abolisi. Itu bisa menghantam balik dirinya. Suara rakyat itu tidak bisa diabaikan,” ujar Rocky.
Lebih jauh, ia menilai bahwa langkah abolisi dan amnesti bukan hanya keputusan teknis, melainkan tindakan berbasis nilai. Menurutnya, koreksi terhadap penyimpangan dalam hukum tidak selalu harus dilakukan dengan pendekatan hukum positif, tetapi bisa lewat kehendak politik yang kuat dan berbasis etika publik.
“Kalau ini tidak dilakukan, maka justru Prabowo yang akan jatuh. Karena rakyat sudah terlalu lama menunggu koreksi dari semua kekacauan politik selama ini,” kata Rocky.
Ia juga menyebut bahwa langkah Prabowo ini bisa menjadi penanda dimulainya rekonsiliasi baru dengan berbagai kekuatan politik, termasuk dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Namun, ia juga mengingatkan bahwa di sisi lain, Jokowi diperkirakan tidak akan tinggal diam dan akan menggunakan kekuatan politiknya untuk memberi tekanan balik.
“Persahabatan politik baru bisa terbentuk, tapi Jokowi pasti akan memukul balik,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa Prabowo harus menempuh jalannya sendiri agar bisa menuntaskan mandat rakyat dan menciptakan tata kelola politik yang lebih bersih.
Sementara itu, beberapa narasumber lain dalam diskusi tersebut mengingatkan bahwa wacana perombakan kabinet atau “radical break” tersebut masih sebatas prediksi. Salah satu pembicara menyebut bahwa bulan Agustus seharusnya dijadikan momentum untuk merayakan kemerdekaan dan menjaga persatuan, bukan sebagai titik awal kegaduhan politik baru.
“Kalau memang ada reshuffle, itu hak prerogatif presiden. Tapi apakah akan terjadi bulan ini? Saya pribadi tidak yakin,” ujar salah satu narasumber.
Namun, Rocky tetap yakin bahwa perubahan besar akan segera dilakukan, mengingat tekanan publik yang kian menguat, khususnya dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil.
“Suara emak-emak, suara BEM, suara civil society itu berisik. Dan berisiknya pasti karena menuntut konsekuensi politik. Presiden pasti dengar itu. Kalau tidak, dia sendiri yang akan kehilangan legitimasi,” tegasnya.
Rocky juga menilai bahwa langkah korektif ini adalah penanda bahwa Prabowo kini mulai mengambil posisi sebagai pemimpin penuh. “Aku sekarang jadi presiden Indonesia, dan aku jalan dengan jalanku. Tidak lagi terlalu dekat dengan siapapun,” katanya, menafsirkan pesan simbolik dari langkah politik Prabowo belakangan ini.
Ia menutup analisisnya dengan menyebut bahwa Prabowo harus benar-benar melepaskan diri dari beban masa lalu, termasuk pengaruh dari para aktor politik yang sebelumnya dominan dalam pemerintahan.
“Kalau Prabowo masih memakai tema keberlanjutan, itu justru bertentangan dengan buku Paradoks Indonesia yang ia tulis sendiri. Sekarang saatnya dia menghentikan keberlanjutan itu dan menjadi dirinya sendiri,” pungkas Rocky.
Sebelumnya, Langkah Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto telah disetujui DPR RI.
Kebijakan ini langsung mengundang reaksi publik yang menilai keputusan tersebut sebagai penanda kebangkitan harapan baru atas tegaknya kembali hukum di Indonesia.
Keputusan ini dinilai sebagai koreksi atas praktik penegakan hukum yang selama ini dipandang publik mengalami degradasi serius.
Banyak pihak menyebut bahwa dua langkah tersebut bukan sekadar pembebasan personal, melainkan pesan kuat bahwa pemerintah tidak menutup telinga atas suara masyarakat.
Pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rezza Akbar, menyebut bahwa abolisi dan amnesti ini sejatinya sejalan dengan gelombang aspirasi masyarakat yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir.
Publik menilai ada yang janggal dari proses hukum terhadap Tom Lembong maupun Hasto Kristiyanto.
Ia menyebut lahirnya dua keputusan tersebut bukan hanya kemenangan Tom Lembong atau Hasto Kristiyanto secara pribadi, tetapi kemenangan masyarakat sipil yang selama ini gelisah dengan arah penegakan hukum nasional.
Tekanan kuat dari akademisi, aktivis, hingga kelompok oposisi politik berhasil mendorong perubahan sikap pemerintah.
Meski pemberian abolisi dan amnesti dilakukan setelah vonis dijatuhkan, Rezza menilai aspek waktu ini masih bisa diperdebatkan.
Namun satu hal yang pasti, keputusan tersebut mencerminkan upaya pemerintah menakar dinamika politik dan respon masyarakat.
Lebih jauh, Rezza menegaskan bahwa langkah Prabowo adalah bentuk respons konkret terhadap suara rakyat.
Dia melihat kebijakan ini bukan hanya soal rekonsiliasi politik, tetapi sinyal bahwa pemerintahan Prabowo tengah berupaya melepaskan diri dari hegemoni kekuasaan lama.
berikut, Salinan Keppres Nomor 18 Tahun 2025 tentang Pemberian Abolisi itu ditandatangani Prabowo pada 1 Agustus 2025.
"Menetapkan: Keputusan Presiden tentang Pemberian Abolisi." demikian petikan dalam Salinan Keppres mengutip Antara, Senin (4/8).
Dalam Keppres itu, tertulis bahwa ada empat keputusan yang dibuat Prabowo terkait dengan pemberian abolisi kepada Tom Lembong. Empat keputusan itu lengkapnya sebagai berikut:
"Kesatu: Memberikan abolisi kepada Saudara Thomas Trikasih Lembong," dikutip dari keppres tersebut.
"Kedua: Dengan pemberian abolisi sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu, maka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan semua proses hukum dan akibat hukum terhadap Saudara Thomas Trikasih Lembong ditiadakan," imbuhnya.
"Ketiga: Pelaksanaan Keputusan Presiden ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Jaksa Agung; Keempat: Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan," tertulis di sana.
Dalam keppres itu, Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong berdasarkan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 139/PIMP/IV/2024-2025 tentang Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap Permohonan Abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong pada tanggal 31 Juli 2025.
Berdasarkan pertimbangan atas Keputusan DPR itu, tertulis Presiden Prabowo perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Pemberian Abolisi.
Dalam bagian peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan, Keppres tersebut mencantumkan Pasal 4 ayat (1) dan pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45).
(***)