RIAU24.COM - Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi APBD Kota Pekanbaru yang di dakwakan kepada Mantan Pj Walikota Pekanbaru Risnandar Wahiwa, Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru Indra Pomi Nasution dan Plt Kabag Umum Novin Karmila kembali dilaksanakan di Ruang Sidang Mudjono PN Pekanbaru, Selasa (22/7/2025).
Dimulai pukul 10.00 wib, kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan ahli dari bidang hukum pidana Prof. Dr. Hibnu Nugroho, SH, MH, yang merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman di Purwokerto, Jawa Tengah.
JPU juga menghadirkan ahli hukum administrasi negara yakni, Dr. Wirjawan Chandra dari Fakultas Hukum Atma jaya Yogyakarta.
Dari pantauan tim Riau24.com di ruang sidang ahli pertama kali meminta pendapat kepada Hibnu Nugroho selaku ahli hukum pidana, dan di lanjutkan ke ahli hukum administrasi negara Wirjawan Chandra.
Dalam proses persidangan, Hibnu Nugroho memaparkan soal suap dan gratifikasi UU Tipikor Pasal B dan F. Ia menyinggung soal Pasal 12 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan.
Pasal 12f delik khusus yang mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada saat menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran dari pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau dari kas umum, seolah-olah ada utang padahal diketahui bukan merupakan utang, termasuk dalam kategori korupsi.
Lantas, dalam kasus ini di makna bahwa tindakan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang meminta, menerima, atau memotong pembayaran untuk kepentingan lembaga atau kas umum. Dimana Keuangan yang dikelola oleh bendahara di lembaga atau instansi terkait, baik bersumber dari APBN atau APBD.
Hibnu secara tegas menjelaskan bahwa suap dan gratifikasi ini melalui video conference yang dihubungkan di ruang persidangan.
Dalam hukum tindak pidana korupsi, delik suap memiliki struktur hukum yang jelas. Suatu tindak pidana suap terjadi apabila terdapat kesepakatan awal antara pemberi dan penerima. Kesepakatan ini menjadi unsur penting dalam membedakan suap dari bentuk pelanggaran lainnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Secara umum, suap dibagi ke dalam dua kategori: suap aktif dan suap pasif. Suap aktif merujuk pada tindakan pihak pemberi, sedangkan suap pasif mengacu pada pihak penerima. Meski keduanya berada dalam satu rumpun delik, perbedaan peran menjadi poin pembeda utama dalam proses hukum.
Selain itu, dalam praktiknya, suap kerap didahului oleh pemufakatan jahat, yakni kesepakatan atau rencana antara dua pihak untuk melakukan tindak pidana. Meski demikian, istilah “pemufakatan jahat” tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU Tipikor, tetapi kerap digunakan untuk menjerat aktor intelektual dalam proses penyidikan.
Sementara itu, gratifikasi menjadi aspek lain dalam pembahasan integritas penyelenggara negara. Gratifikasi didefinisikan sebagai setiap bentuk pemberian kepada penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Berbeda dengan suap yang mengandalkan unsur kesepakatan, gratifikasi bersifat lebih luas dan tidak selalu disertai niat timbal balik secara langsung.
Dalam konteks hukum, gratifikasi mencakup segala bentuk pemberian, baik yang langsung maupun tidak langsung. UU Tipikor mewajibkan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi untuk menolak atau melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pengendalian gratifikasi di lingkungan instansi pemerintahan dinilai penting untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan konflik kepentingan.
Dalam diskusi yang sama, pakar hukum pidana Hibnu Nugroho turut menyoroti peran strategis sekretaris daerah (sekda) dalam struktur keuangan daerah. Sekda, kata dia, memiliki kewenangan sekaligus tanggung jawab dalam menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) sebagai pengguna anggaran. Posisi tersebut menjadikan sekda sebagai salah satu aktor kunci dalam mekanisme pengeluaran keuangan daerah dan sekaligus berpotensi bersentuhan dengan risiko hukum apabila tidak dijalankan secara akuntabel.
Dengan demikian, pemahaman atas suap, gratifikasi, dan posisi strategis dalam birokrasi menjadi kunci dalam upaya memperkuat pencegahan korupsi di tingkat pusat maupun daerah.
Sementara itu, Ahli Hukum Administrasi Negara Wiryawan Chandra memaparkan tentang perbedaan pegawai negeri dan penyelenggara negara dan status hukum pejabat dan jabatan struktural.
Ia juga mengupas tuntas tentang Mekanisme Keuangan Negara: Uang Persediaan dan Ganti Uang, sekaligus penyalahgunaan dan pemotongan anggaran GU dan TU.
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi APBD Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa dijadwalkan pada Selasa (29/7/2025) dengan agenda pemeriksaan saksi mahkota dan pemeriksaan terdakwa.
(***)