RIAU24.COM - Isu dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo kembali mengemuka dan kini memasuki babak baru yang lebih kompleks. Meski telah bergulir selama bertahun-tahun, kasus ini belum menemukan titik terang. Justru sebaliknya, polarisasi di masyarakat semakin dalam, memperlihatkan bahwa persoalan ini tak lagi sekadar soal dokumen, tapi juga menyentuh ranah legitimasi politik dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Sikap mantan Presiden Jokowi yang enggan membuka dokumen ijazahnya secara terbuka di hadapan publik, dianggap sejumlah pihak sebagai penghambat transparansi. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi menyatakan bahwa ijazah hanya akan ditunjukkan jika persoalan ini benar-benar dibawa ke pengadilan.
Namun, banyak pihak menilai pendekatan tersebut tidak cukup untuk meredam kegaduhan. Salah satunya datang dari mantan Komandan Jenderal Kopassus, Mayjen TNI (Purn) Soenarko. Dalam konferensi pers yang digelar Senin (14/7/2025), Soenarko mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil alih penanganan isu ini secara tegas dan adil.
"(Kasus ijazah Jokowi) Mudah diselesaikan kalau presiden mau bersikap jujur, adil, bertanggung jawab," kata Soenarko dalam konferensi pers pada Senin (14/7/2025), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Lebih jauh, Soenarko menegaskan komitmennya untuk mendukung Presiden Prabowo jika ia bersikap tegas. Ia bahkan menyatakan siap mempertaruhkan nyawanya demi membela pemimpin negara selama pemimpin tersebut berdiri di atas kebenaran.
"Kalau ada yang mengganggu bapak, kalau bapak sudah jujur dan adil, saya siap mati di depan bapak dan banyak rakyat untuk melindungi bapak presiden. Jangan takut!" tegasnya.
Desakan untuk Ketegasan Pemerintah
Soenarko menyoroti diamnya Presiden Prabowo dalam menangani kasus yang telah menciptakan kegaduhan nasional ini. Ia menilai ketidaktegasan pemerintah justru berpotensi memperkeruh situasi dan menciptakan ruang bagi disinformasi berkembang.
"Saya cuma minta kepada Presiden Republik Indonesia: ke mana Bapak dalam kasus seperti ini? Ini kasus ringan, tidak rumit, tapi malah dibiarkan membuat gaduh bangsa," ujarnya.
Purnawirawan jenderal bintang dua ini juga menuding aparat penegak hukum bertindak tidak netral dan cenderung melindungi kepentingan politik tertentu, khususnya dalam proses penyelidikan kasus ijazah Jokowi.
"Kalau ini berlanjut, bukan cuma gaduh. Bisa pecah belah karena aparat yang Bapak kendalikan bertindak tidak jujur dan tidak adil. Ini sudah sangat absurd," tambahnya.
Soenarko bahkan menuduh secara terbuka bahwa Jokowi telah menggunakan dokumen palsu sejak awal karier politiknya. Tuduhan serupa juga diarahkan kepada putranya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pernyataan ini merujuk pada informasi yang selama ini disampaikan oleh tokoh publik seperti Roy Suryo dan akademisi Rismon Sianipar.
"Terang benderang kalau Jokowi menggunakan ijazah palsu dari Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden. Sekarang menurunkan ke anaknya yang diduga juga menggunakan ijazah palsu karena ijazah SMA-nya tidak pernah muncul," ujarnya.
Status Kasus Naik ke Penyidikan
Di sisi hukum, Polda Metro Jaya telah meningkatkan penanganan kasus ini ke tahap penyidikan. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan bahwa ada dua objek perkara utama: pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Presiden Jokowi sendiri, serta penghasutan dan penyebaran berita bohong yang bersumber dari lima laporan polisi berbeda.
“Dalam gelar perkara penyelidikan ditemukan dugaan peristiwa pidana, sehingga kasusnya dinaikkan ke penyidikan,” kata Ade Ary dalam pernyataan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).
Kelima laporan tersebut berasal dari wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Depok, dan Bekasi. Penyidik, lanjutnya, akan kembali memanggil para terlapor untuk melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dari pemeriksaan tersebut, polisi akan menentukan apakah akan menetapkan tersangka dan melakukan penahanan.
Namun hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak istana maupun Presiden Jokowi terkait perkembangan penyidikan ini. Sementara itu, pihak-pihak yang melontarkan tuduhan terhadap Jokowi, termasuk Roy Suryo dan Rismon Sianipar, mengaku siap menghadapi proses hukum.
Analisis Politik: Simbol Legitimasi yang Dipertaruhkan
Sejumlah pengamat menilai bahwa kasus ini bukan hanya soal legalitas dokumen pendidikan, tetapi telah menyentuh akar kepercayaan terhadap institusi kepemimpinan. Dalam sistem demokrasi, legitimasi seorang pemimpin tak hanya bersumber dari pemilu, tetapi juga dari integritas personal dan transparansi publik.
"Ketika seorang mantan presiden enggan menunjukkan hal yang seharusnya mudah diverifikasi, publik bisa kehilangan kepercayaan — bukan hanya pada orangnya, tapi juga pada sistem yang memungkinkan itu terjadi," ujar analis politik dari LIPI dalam diskusi publik belum lama ini.
Dengan posisi Gibran kini sebagai Wakil Presiden, narasi dugaan penyalahgunaan dokumen oleh dua generasi dalam satu keluarga berpotensi memunculkan krisis kepercayaan lanjutan. Belum lagi jika isu ini dimanfaatkan sebagai senjata politik oleh kubu-kubu yang berseberangan menjelang pemilu atau reshuffle kabinet.
Apa Selanjutnya?
Ketegangan publik terkait isu ini kemungkinan besar akan terus berlanjut hingga ada kejelasan hukum. Banyak pihak menyerukan agar pemerintah dan aparat bertindak cepat dan transparan untuk menutup ruang spekulasi yang semakin liar.
Sementara itu, Presiden Prabowo, yang selama ini dikenal berhati-hati dalam menyikapi isu-isu sensitif, berada di bawah tekanan besar — tidak hanya dari publik, tetapi juga dari tokoh-tokoh nasional yang mendesaknya mengambil sikap.
Apakah Prabowo akan mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan polemik ini secara terbuka? Atau memilih untuk tetap diam dan membiarkan proses hukum berjalan secara perlahan?
Satu hal yang pasti: publik sedang menunggu — bukan hanya keputusan hukum, tetapi juga sikap kenegarawanan.
(***)