Mengejutan, Inilah Sederet Kasus Bullying yang Terjadi di PPDS Anestesi Undip

R24/dev
Mengejutan, Inilah Sederet Kasus Bullying yang Terjadi di PPDS Anestesi Undip
Mengejutan, Inilah Sederet Kasus Bullying yang Terjadi di PPDS Anestesi Undip

RIAU24.COM - Kasus perundungan yang berujung pada meninggalnya dr 'ARL', peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) prodi anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), kini memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri Semarang. Sidang perdana digelar pada Senin (26/5/2025), dengan menghadirkan tiga terdakwa.

Salah satu terdakwa adalah Zara Yupita Azra, senior dari angkatan 76 di PPDS Anestesi Undip. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut Zara sebelumnya adalah kakak pembimbing dari almarhumah dr ARL.

"Dalam pertemuan tersebut, dr. Zara memberikan instruksi kepada angkatan 77 mengenai sistem operan tugas, termasuk penyediaan makanan prolong, joki tugas, serta keperluan lainnya," jelas JPU Shandy dalam persidangan, dikutip dari detikJateng, Selasa (27/5/2025).

Terdapat pula aturan yang disebut 'pasal anestesi' di lingkungan PPDS, yakni mengatur etika interaksi antara junior dan senior. Dalam pasal itu, tercantum prinsip-prinsip seperti 'senior selalu benar', 'jika senior salah, kembali ke pasal 1', serta larangan mengeluh karena semua dianggap telah melalui proses yang sama.

Selain itu, mahasiswa tingkat awal atau semester nol hanya diperbolehkan berbicara dengan senior satu tingkat di atasnya. Komunikasi dengan senior lebih dari dua tingkat dilarang, kecuali jika senior yang memulai. Bahkan, berbicara tanpa izin bisa dianggap sebagai pelanggaran etika.

Selain praktik perundungan verbal dan psikologis, mahasiswa juga dibebani kewajiban menyediakan makanan bagi senior sebagai bagian dari 'kewajiban' hierarki. Biaya makan ini ditanggung penuh oleh junior, tanpa kontribusi senior yang menikmati makanan tersebut.

Tak hanya itu, junior juga diminta membayar untuk joki tugas akademik ke pihak ketiga yang mengerjakan tugas ilmiah milik senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

Eks Kaprodi Diduga Wajibkan Pembayaran Rp 80 Juta per Mahasiswa

Dalam sidang yang menghadirkan mantan Kepala Program Studi PPDS Anestesi Undip, dr Taufik Eko Nugroho, dan staf administrasi Sri Maryani, sebagai dua tersangka kasus dr 'ARL' lainnya, JPU membeberkan praktik pungutan biaya operasional pendidikan (BOP) kepada mahasiswa.

"Terdakwa dr Taufik secara konsisten mewajibkan mahasiswa semester 2 ke atas untuk membayar BOP hingga sekitar Rp 80 juta per orang," ungkap jaksa Shandy.

Dana tersebut diklaim untuk mendanai berbagai kebutuhan akademik, seperti ujian CBT, OSS, penyusunan tesis, konferensi nasional, CPD, jurnal reading, dan publikasi ilmiah.

Namun, sejak 2018 hingga 2023, banyak mahasiswa dari berbagai angkatan merasa terbebani dan tertekan oleh kewajiban ini. Meski begitu, mereka memilih diam karena khawatir kelancaran pendidikan dan kepesertaan ujian mereka akan terhambat bila tidak mematuhi perintah dr Taufik.

"Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr Taufik Eko Nugroho itu," ujarnya.

"Namun, mereka tidak berdaya karena terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," sambungnya.  

"Secara tidak langsung membiarkan dan memanfaatkan sistem kekuasaan ini menjadi sistem dengan pemaksaan dalam pelaksanaan pungutan residen yang dipimpinnya," terangnya.

Sandhy menambahkan, terdapat ancaman kekerasan nonfisik dan psikologis bagi para residen mahasiswa PPDS.

"Karena setiap bentuk pembangkangan dan ketidakpatuhan dapat berdampak pada evaluasi akademik dan pengucilan dari kegiatan pembelajaran," lanjutnya.

Rp 2,49 M di Rekening Pribadi

Sementara dalam pengumpulan dana BOP residen, Taufik diduga menunjuk bendahara utama residen untuk mengkoordinir pengumpulan dana dari para mahasiswa melalui bendahara angkatan. Taufik kemudian memerintahkan Maryani untuk menarik uang BOP.

"Bendahara angkatan meminta uang BOP dari mahasiswa PPDS. Setelah uang BOP terkumpul, bendahara angkatan dapat menyerahkan uang BOP secara tunai kepada terdakwa Sri Maryani secara langsung atau melalui bendahara utama residen," ungkapnya.

Dana yang terkumpul itu tidak disimpan dalam rekening fakultas atau universitas, melainkan dalam rekening pribadi Sri Maryani.

"Terdakwa Sri Maryani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," tuturnya.

Dana itu berasal dari para residen lintas angkatan sejak tahun 2018-2023. Kemudian, saat uang di rekening Maryani telah menipis, Maryani akan melapor kepada Taufik yang kemudian memerintahkan mengumpulkan dana tambahan.

Uang itu pun lantas digunakan Taufik dan Maryani untuk berbagai keperluan yang hanya menguntungkan beberapa pihak dan seharusnya tidak menjadi tanggungan residen atau mahasiswa PPDS.

"(Untuk) Uang saku undangan pelatihan soal kompre, penginapan, pelatihan soal kompre, uang saku pembimbing dan moderator, uang lembur sekretariat, pembelian buku neuroanestesi PPDS, uang saku penilai tesis, uang saku pembimbing tesis, konsumsi pembacaan, konsumsi rapat, uang saku pembimbing tiga, uang saku penilai, konsumsi rapat," kata Sandhy.

Taufik dan Maryani pun disebut secara aktif menerima sejumlah uang secara langsung dari dana tersebut.

"Total dana BOP yang telah diterima oleh terdakwa dr Taufik yang selama jabatan sebagai KPS mencapai setidak-tidaknya Rp 177 juta," jelasnya.

"Terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berapa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta," imbuh dia.

Usai adanya isu internal mengenai pengelolaan dana BOP mencuat pada 4 Agustus 2023, Taufik memerintahkan Maryani menghentikan pengelolaan dana BOP dan menyerahkan seluruh sisa uang yang masih dikuasainya ke bendahara utama residen.

Sandhy menjelaskan, tak ada dasar hukum yang sah selama pengumpulan dan pemanfaatan dana BOP tersebut. Biaya resmi PPDS anestesi dan terapi intensif unimed telah ditetapkan dalam keputusan Rektor Unimed Nomor 483/UN7.TP/HK/2022, sehingga tindakan keduanya disebut merupakan pungutan liar (pungli).

"Tindakan terdakwa Taufik bersama-sama dengan terdakwa Sri Maryani merupakan bentuk pungutan liar atau ilegal karena pungutan di luar biaya sumbangan pengembangan pendidikan atau SPP hanya dikenal dalam bentuk sumbangan pengembangan institusi atau SPI dan tidak pernah dalam bentuk BOP sebagaimana dilakukan oleh terdakwa Taufik dan terdakwa Sri Maryani," paparnya.

"Perbuatan para terdakwa adalah tidak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 368 ayat 2 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP," tuturnya.

Terdakwa Tak Ajukan Eksepsi

Adapun pihak terdakwa tak mengajukan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal itu disampaikan kuasa hukum terdakwa, Kaerul Anwar.

"Kenapa tidak mengajukan eksepsi? Kita paham eksepsi itu kan ada formal dan materiel. Formal itu menyangkut substansi identitas terdakwa. Itu sudah klir, nggak ada masalah," kata Kaerul usai persidangan di PN Semarang, Senin (26/5/2025).

"Kemudian kalau materielnya itu kan mengenai konstruksi dakwaan. Kalau itu bagi saya bukan substansi pokok perkara. Makanya kita ingin lebih cepat untuk disidangkan pokok perkaranya. Yang kita uji adalah faktanya di persidangan," lanjutnya.

Ia menyebut, eksepsi dengan alasan dakwaan kabur atau yang lain hanya akan mengulur waktu, sehingga pihaknya menegaskan akan fokus tetap kepada pokok perkara.

"Makanya kita tidak akan eksepsi masalah itu. Ya, kalau hanya dakwaan kabur dan lain sebagainya, itu hanya menunda waktu, tidak akan menghentikan proses," tuturnya.

Kaerul juga menyampaikan, pihaknya tetap akan menghadirkan ahli dan juga saksi yang meringankan.

"Ahli dan saksi yang meringankan pasti akan kita hadirkan. Tapi kita tunggu dulu. Prosesnya kita ikuti dari rekan jaksa penuntut umum dulu," tuturnya.

"Ada saksi yang diperiksa dalam penyelidikan di Polda, tetapi dalam tahap penyidikan dia sudah tidak dijadikan saksi. Kenapa? Karena mungkin tidak menguntungkan," imbuh dia.

Ia mengatakan, juga akan menghadirkan saksi dari mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 76 dan 78.

"Biar nanti semua terungkap terang-benderang yang sebenarnya seperti apa yang terjadi. Jadi tidak seperti yang mungkin selama ini diinfokan oleh pihak lain. Kita ingin biar nanti fakta persidangan aja yang menyuarakan," tegasnya.

"Coba diperhatikan. Dokter Taufik, Bu Sri Maryani, dakwaannya Pasal 378 penipuan. Apa kaitannya dengan meninggalnya almarhum?" ujarnya.

Menurutnya, harus ada pembuktian bahwa korban dokter Aulia tewas karena bunuh diri. Hal itu, kata Kaerul, belum pernah diterangkan pihak penyidik dari kepolisian.

"Menkes pernah statement di awal bahwa almarhum meninggal dunia karena bunuh diri. Itu yang harus dibuktikan," tegasnya.

"Kepolisian sampai dengan hari ini tidak pernah ada statement yang menerangkan dia bunuh diri," lanjutnya.

 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak