Rekonsiliasi Elit, Polarisasi Rakyat: Konsolidasi Politik Jokowi dan Prabowo Masuki Babak Baru

R24/zura
Rekonsiliasi Elit, Polarisasi Rakyat: Konsolidasi Politik Jokowi dan Prabowo Masuki Babak Baru.
Rekonsiliasi Elit, Polarisasi Rakyat: Konsolidasi Politik Jokowi dan Prabowo Masuki Babak Baru.

RIAU24.COM -Di permukaan, panggung politik Indonesia tengah disapu narasi rekonsiliasi. 

Presiden Joko Widodo dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto tampil seirama, saling memuji dan menjanjikan kesinambungan kekuasaan. 

Namun di balik panggung yang dirancang harmonis itu, kritik soal konsolidasi kekuasaan dan oligarki justru semakin menguat.

Pasca pemilu 2024, arah demokrasi Indonesia kian dikendalikan oleh segelintir elit. Partai-partai besar mulai berbaris rapi di bawah satu poros kekuasaan, menyisakan hanya sedikit ruang oposisi. 

PDIP, meski awalnya mengambil sikap berbeda, mulai menunjukkan tanda-tanda kompromi. Airlangga Hartarto dari Golkar dan Zulkifli Hasan dari PAN terang-terangan menyatakan dukungan penuh terhadap program-program Prabowo, bahkan yang dirancang sejak era Jokowi.

Rocky Gerung mengkritik keras kecenderungan ini. “Yang terjadi bukan demokrasi, tapi oligarki yang menyamar. Mereka menyebutnya rekonsiliasi, padahal ini koalisi dagang kekuasaan,” ujarnya mengutip kanal YouTube @RockyGerungOfficial, Rabu (16/4). 

Isu utama yang mencuat adalah pemanfaatan kekuasaan untuk memastikan transisi politik yang aman dan menguntungkan secara politik dan ekonomi. Posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih dinilai sebagai bagian dari strategi memperpanjang pengaruh politik Jokowi, bahkan setelah ia tak lagi menjabat.

“Ini adalah transfer kekuasaan yang dikawal oleh infrastruktur negara, bukan oleh proses demokrasi murni,” kata Burhanuddin Muhtadi, analis politik dari SMRC. 

Ia menyoroti penggunaan aparat, birokrasi, dan pengaruh elite dalam menjaga kesinambungan dinasti politik.

Rocky Gerung tak ragu menyebut peran Jokowi sebagai “aktor politik paling berpengaruh di luar struktur formal kekuasaan.” 

Ia menambahkan, “Jokowi hari ini bukan Presiden biasa. Ia adalah arsitek rekayasa politik yang berhasil menjinakkan oposisi, menyatukan oligarki, dan memagari masa depan anaknya dengan kekuasaan sistemik.”

Namun dampaknya bukan tanpa risiko. Di tingkat akar rumput, polarisasi justru meningkat. Sentimen publik terhadap elite semakin negatif. Di media sosial, muncul gerakan digital yang mengkritik 'politik dinasti' dan 'banci oposisi'. 

Rakyat merasa ditinggal oleh partai yang mereka dukung karena semua berakhir dalam pelukan kekuasaan.

“Yang berdamai cuma elit, rakyatnya masih berkelahi,” kata Rocky Gerung. “Demokrasi tanpa oposisi adalah teater, dan rakyat cuma jadi penonton yang tak punya tiket untuk bersuara.”

Kondisi ini mengundang pertanyaan besar: apakah rekonsiliasi yang dibanggakan elite benar-benar menyehatkan demokrasi? Atau justru hanya mempertebal tembok kekuasaan?

Dengan pemerintahan baru yang segera terbentuk, perhatian kini tertuju pada bagaimana Prabowo akan menyeimbangkan loyalitas politik kepada Jokowi dan ekspektasi reformasi dari pemilih. Di sinilah, kata pengamat, letak tantangan terbesar: memimpin tanpa menjadi bayangan dari pendahulu.

(***) 
 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak