Populisme Fiskal di Tengah Defisit: Program Makan Siang Gratis Jadi Bom Waktu Anggaran

R24/zura
Populisme Fiskal di Tengah Defisit: Program Makan Siang Gratis Jadi Bom Waktu Anggaran.
Populisme Fiskal di Tengah Defisit: Program Makan Siang Gratis Jadi Bom Waktu Anggaran.

RIAU24.COM -Di tengah tekanan defisit anggaran yang menembus Rp609 triliun dan rasio utang yang terus meningkat, pemerintah tetap ngotot menjalankan program populis seperti makan siang gratis, susu untuk anak, hingga bantuan sembako. 

Presiden Prabowo Subianto menyebut program ini sebagai “investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa”. Namun, pertanyaannya: masa depan siapa yang sedang disiapkan, dan dengan ongkos apa?

Ekonom menilai bahwa program populis tanpa dasar fiskal yang kuat hanya akan mempercepat kerusakan struktur anggaran negara. 

“Kalau kita terus bicara makan siang gratis di saat kas negara kosong, maka kita sedang mendekati jurang fiskal dengan senyum lebar,” sindir Bhima Yudhistira dari CELIOS, mengutip Rabu (16/4).

Dalam diskusi yang sama, Rocky Gerung mengkritik tajam pendekatan ini. “Ini bukan sekadar makan siang, ini adalah konsumsi politik yang dibungkus sebagai kebijakan publik. Negara mengubah bantuan menjadi alat propaganda,” tegasnya.

Program makan siang gratis yang diklaim akan menjangkau 80 juta anak Indonesia, diperkirakan menelan biaya hingga Rp450 triliun per tahun dalam skenario penuh. 

Namun realisasi anggaran baru disiapkan Rp71 triliun untuk tahap awal, yang berarti akan ada pembengkakan lanjutan. Sumber dananya? Lagi-lagi lewat utang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan telah menyiapkan penarikan utang baru senilai Rp250 triliun hanya untuk menambal defisit yang diperbesar oleh program-program populis tersebut. 

Dengan nilai tukar rupiah yang anjlok, beban utang luar negeri pun otomatis membengkak.

“Ini adalah situasi klasik dari fiskal yang dibajak politik,” ujar pengamat kebijakan Aviliani.

Rocky Gerung menyebut skema ini sebagai paradoks negara tanpa ide: “Jika tidak ada gagasan, maka yang dijual adalah gimmick. Makan siang bukan solusi jika rakyat bangun tidur masih bingung besok kerja di mana. Ini bukan negara kesejahteraan, ini negara pengalihan isu.”

Program populis memang menjual di atas kertas, tetapi dalam praktiknya bisa merusak stabilitas fiskal jika tidak disertai reformasi pajak dan efisiensi belanja negara.

Sementara itu, belanja infrastruktur dasar seperti kesehatan dan pendidikan justru menurun pada kuartal pertama 2025.

Tak hanya soal anggaran, ketidaksiapan eksekusi di lapangan juga menuai sorotan. Distribusi logistik, data penerima yang tumpang tindih, serta potensi korupsi dalam pengadaan bahan pangan menjadi kekhawatiran tambahan. 

“Makan siang gratis berisiko jadi ladang rente baru,” ujar Yenti Garnasih, pakar anti-korupsi.

Presiden Prabowo dalam pidatonya beberapa waktu lalu menegaskan bahwa negara besar harus berani bermimpi besar. 

Namun, Rocky Gerung menyanggah keras: “Mimpi besar tidak cukup jika kaki negara masih terperosok dalam lumpur utang. Gagasan besar butuh fondasi, bukan hanya niat baik.”

Dengan beban anggaran yang kian berat, utang yang terus bertambah, dan program-program populis yang belum teruji dampaknya, Indonesia kini berada di persimpangan jalan: lanjut dengan retorika kesejahteraan atau berbalik menuju disiplin fiskal yang rasional.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak