RIAU24.COM -Pemerintah resmi menambah pembiayaan utang sebesar Rp250 triliun untuk menutup pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang kian menganga.
Langkah ini diambil saat kondisi makroekonomi nasional berada dalam tekanan: rupiah menyentuh Rp16.300 per dolar AS, inflasi pangan tahunan melampaui 6,2%, dan konsumsi rumah tangga menurun dua kuartal berturut-turut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut tambahan utang ini sebagai “respons fiskal terukur” menghadapi tekanan global dan perlambatan ekonomi domestik.
Namun, di balik narasi stabilisasi, angka ini menyentuh titik genting: krisis kepercayaan terhadap manajemen fiskal negara.
“Kalau tidak ada imajinasi politik, maka kekuasaan hanya jadi mesin distribusi anggaran,” kritik pengamat politik Rocky Gerung yang dikutip dalam kanal YouTube @RockyGerungOfficial
Menurutnya, kebijakan fiskal kini sekadar menjadi instrumen penenang sesaat, tanpa arah strategis jangka panjang.
Data Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan negara baru mencapai 31,4% dari target tahunan per April 2025, sementara belanja negara sudah menyentuh 43%. Sinyal itu menunjukkan bahwa negara semakin agresif membelanjakan anggaran, tetapi tak mampu memaksimalkan penerimaan, termasuk pajak yang stagnan akibat lesunya sektor usaha.
Rocky menyoroti apa yang ia sebut sebagai “defisit kepercayaan”. “Negara seperti sedang mengais sisa-sisa uang belanja sambil tetap menjual mimpi besar kepada rakyat,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa utang bukan masalah teknis semata, melainkan konsekuensi dari hilangnya kepemimpinan ideologis dan politik yang berpihak pada keberlanjutan.
Laporan Bank Indonesia per April 2025 menunjukkan yield Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun naik ke 7,2%, menandakan persepsi risiko yang meningkat di mata investor.
“Kalau tidak ada roadmap pemulihan yang kredibel, utang ini justru menjadi pelumas krisis jangka panjang,” kata Ekonom INDEF, Nailul Huda, menambahkan.
Kondisi ini diperparah oleh ketidakjelasan arah pemerintahan transisi pasca-pilpres. Presiden terpilih Prabowo Subianto masih belum mengumumkan detail tim ekonomi maupun reformasi struktural yang dijanjikan selama kampanye.
Sementara itu, kebijakan-kebijakan populis seperti program makan siang gratis, yang diperkirakan menelan belanja tambahan Rp400 triliun per tahun, menambah beban fiskal.
“Paradoks terbesar kita saat ini: utang bertambah, tapi investasi dalam ide justru menyusut,” ujar Rocky.
Ia mempertanyakan keberanian elite politik merumuskan ulang struktur ekonomi agar tidak terus-terusan bergantung pada pembiayaan luar.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang mengarahkan kapal ekonomi republik?
Apakah para teknokrat yang kehilangan mandat? Atau para politisi yang lebih sibuk mengatur panggung kekuasaan jelang pelantikan Oktober?
Dengan sisa fiskal yang menipis dan publik yang makin frustrasi, tambahan utang Rp250 triliun bukan sekadar angka dalam neraca negara. Ia adalah tanda bahwa negara berjalan tanpa kompas dalam kabut ketidakpastian.
(***)