RIAU24.COM -Fragmentasi gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil menjadi sorotan tajam sejumlah pengamat politik pasca-pemilu 2024.
Di tengah transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto, suara perlawanan yang dahulu lantang kini terdengar sumbang dan tidak seragam.
Gerakan mahasiswa kini cenderung sporadis dan kurang terstruktur. Alih-alih menjadi kekuatan yang solid, aksi-aksi mahasiswa sering kali hanya sebatas reaksi sesaat terhadap isu-isu yang mencuat.
Kondisi ini diperparah oleh kecurigaan antar kelompok. Beberapa aktivis menuding adanya infiltrasi oleh pihak-pihak tertentu yang bertujuan melemahkan gerakan dari dalam. Rocky Gerung menyebut fenomena ini sebagai "operasi aborsi politik" yang mengganggu konsolidasi masyarakat sipil.
Dalam perbincangan yang disiarkan Forum News Network (FNN), akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung menyebut kondisi tersebut sebagai bentuk kelelahan politik yang akut.
“Perlawanan tidak hilang, tapi kehilangan orientasi,” kata Rocky.
Ia menambahkan bahwa masyarakat sipil mengalami “kakofoni”—keramaian yang tak memiliki struktur, tanpa komposisi yang jelas.
Rocky menilai bahwa tidak adanya satu isu strategis yang bisa dipertahankan secara konsisten membuat gerakan-gerakan sipil kehilangan taji.
Pergantian isu yang cepat, minimnya pendalaman substansi, hingga saling curiga antaraktivis turut memperburuk keadaan.
“Yang kita lihat adalah semangat yang terjebak dalam kegaduhan. Ada ide, tapi tak ada strategi. Ada strategi, tapi tanpa pengorganisasian,” ujarnya.
Situasi ini sangat kontras dengan era Reformasi 1998. Kala itu, masyarakat sipil dan mahasiswa menyatu dalam semangat menggulingkan Orde Baru, dengan musuh bersama yang jelas: korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kini, menurut Rocky, konsolidasi ideologis tidak lagi terjadi. Transisi kekuasaan tidak menandai perubahan substansial karena rezim yang lama masih memiliki pengaruh kuat dalam pemerintahan baru.
“Rezim Prabowo belum menunjukkan garis tegas dengan pemerintahan sebelumnya. Ini membingungkan banyak aktivis yang semula berharap akan terjadi perubahan nyata,” ujar Rocky.
Ia menyebut situasi ini sebagai bentuk ketidakselesaian reformasi yang berulang—dimulai dari euforia, tapi berakhir dengan kekecewaan.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya kapasitas intelektual dalam tubuh masyarakat sipil. Rocky menyoroti ketidaksiapan sebagian aktivis dan akademisi dalam membaca dinamika global dan kaitannya dengan situasi nasional.
“Sejarah Indonesia adalah bagian dari sejarah dunia. Tidak bisa melihat Indonesia terpisah dari perubahan global,” katanya.
Ia mencontohkan berbagai isu internasional—mulai dari krisis energi, rivalitas geopolitik Timur Tengah, hingga proteksionisme ekonomi global—yang semestinya menjadi bagian dari analisis masyarakat sipil dalam membaca situasi Indonesia.
Namun, pendekatan teoretis dan ideologis dianggap semakin terpinggirkan oleh slogan-slogan populis dan pendekatan pragmatis.
“Perubahan hanya menjadi perubahan kosmetik jika tidak dituntun oleh gagasan besar. Kita sibuk dengan slogan kerja, tapi lupa bertanya: kerja untuk apa?” ujarnya.
Rocky juga menyinggung soal kecurigaan yang menyelimuti sejumlah tokoh dan organisasi sipil.
Ia sendiri pernah dicurigai menjadi bagian dari skenario kekuasaan hanya karena bertemu dengan petinggi partai tertentu.
Fenomena ini juga berdampak pada kampus dan ruang-ruang intelektual. Diskursus akademis dinilai mandek, tergantikan oleh debat dangkal dan pertarungan opini tanpa fondasi teoritik.
(***)