RIAU24.COM -Ketahanan pangan kembali menjadi isu strategis nasional sepanjang 2025. Krisis iklim yang memicu gagal panen, tingginya biaya distribusi antarwilayah, dan ketergantungan pada komoditas beras membuat Indonesia menghadapi tantangan serius dalam menjaga ketersediaan pangan untuk 278 juta penduduknya. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan kelompok petani kini bergerak serentak memperkuat sistem pangan nasional dari hulu hingga hilir.
Kenaikan suhu global, perubahan pola hujan,hingga meningkatnya frekuensi banjir dan kekeringan telah mengganggu siklus produksi pangan di berbagai wilayah Indonesia. Kondisi ini diperparah oleh alih fungsi lahan, terbatasnya infrastruktur pertanian modern, serta rantai pasok yang masih panjang dan tidak efisien.
Musim Tak Menentu Menggerus Produksi Padi Nasional. Di Indramayu, kawasan yang dikenal sebagai salah satu lumbung beras Jawa Barat, petani terpaksa menunda masa tanam karena hujan tak kunjung turun. Retakan tanah muncul lebih cepat dari biasanya. Sementara di daerah Demak dan Pati, banjir rob pada awal tahun menenggelamkan ratusan hektare sawah siap panen.
Badan Meteorologi mencatat intensitas El Niño dan La Niña sepanjang 2025 saling bertumpuk sehingga pola cuaca menjadi sulit diprediksi. Gangguan ini berdampak pada penurunan produksi padi 10–18% di beberapa sentra utama, Peningkatan serangan hama wereng dan tikus, terutama di Jawa Tengah, Kualitas gabah yang menurun, terutama pada musim kemarau panjang, Kondisi ini memaksa pemerintah melakukan penyesuaian cadangan pangan nasional dan memperkuat program stabilisasi harga.
Ketergantungan pada Beras, Ancaman Ketahanan Pangan,Beras masih menjadi komoditas paling dominan dalam konsumsi pangan domestik. Sebanyak 95% rumah tangga Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok harian. Ketergantungan tunggal ini membuat Indonesia rentan terhadap guncangan produksi.
“Saat produksi padi terganggu, stabilitas nasional ikut terancam,” ujar seorang analis pangan dalam diskusi publik di Jakarta.
Ketergantungan ini menimbulkan dua risiko besar, seperti, Gangguan suplai langsung memicu gejolak harga,Diversifikasi pangan berjalan lambat karena budaya konsumsi masih terpaku pada beras, Upaya Pemerintah Mendorong Sistem Pangan yang lebih Kuat Pemerintah menerapkan sejumlah strategi untuk memperkuat sistem pangan, mulai dari digitalisasi pertanian, pengembangan pangan alternatif, hingga penguatan cadangan nasional.
Pertanian Digital Mulai Diterapkan di Daerah
Inovasi teknologi pertanian mulai masuk ke desa-desa. Beberapa daerah telah memanfaatkan, Drone pemantau hama, Sensor kelembapan tanah, Aplikasi prakiraan cuaca, Irigasi presisi
Di Sragen, kelompok tani muda memonitor kondisi sawah melalui ponsel. Warna-warna pada peta digital menunjukkan potensi serangan hama, tingkat air, dan kebutuhan pupuk tanaman.
“Kami lebih cepat mengambil tindakan sebelum tanaman rusak,” ujar Yosi (27), salah satu petani muda.
Diversifikasi Pangan, Sagu, Sorgum, dan Jagung Menguat. Untuk mengurangi ketergantungan pada beras, pemerintah mengembangkan pangan lokal di beberapa provinsi seperti ,Sagu di Papua, Maluku, dan sebagian Sulawesi,Sorgum di NTT, NTB, dan Jawa Timur, Jagung di Gorontalo, Lampung, dan Kalimantan Selatan. Ubi-ubian sebagai alternatif pangan rumah tangga. Di Timor Tengah Selatan, sorgum kembali menjadi primadona. Varietas baru yang lebih tahan kekeringan membuat petani mampu menanam di lahan kering tanpa menunggu musim hujan.
Cadangan Pangan Nasional Diperkuat
Cadangan Beras Pemerintah (CBP) menjadi andalan stabilisasi harga dan suplai. Pemerintah memperluas cadangan pangan strategis, termasuk jagung pakan, minyak goreng, dan komoditas alternatif.
Langkah ini dibarengi dengan modernisasi gudang penyimpanan, pembangunan lumbung pangan desa, serta pemantauan distribusi menggunakan sistem digital berbasis data real-time.
Distribusi menjadi Titik Lemah Sistem Pangan Indonesia. Meski produksi di beberapa daerah meningkat, masalah terbesar justru berada pada distribusi. Biaya logistik yang tinggi menyebabkan disparitas harga antarwilayah mencapai 20–40%.
Di wilayah Timur, harga beras bisa lebih mahal hingga Rp4.000 per kilogram dibanding Jawa. Transportasi antarpulau yang memakan waktu lama, minimnya cold storage, dan panjangnya jalur distribusi membuat pasokan sering tidak stabil.
Para pengamat menilai “Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi. Distribusi kita masih menjadi masalah besar.”
Potret Tiga Kawasan Jawa, Sumatra ,Kalimantan, dan Nusa Tenggara, Papua.
1. Jawa, Sentra Produksi yang Mulai Tertekan
Sebagai produsen beras terbesar, Jawa menghadapi tantangan serius seperti, Alih fungsi lahan, Urbanisasi tinggi, Ketergantungan pada irigasi teknis yang rentan kekeringan, Minimnya regenerasi petani
Di Karawang, petani mengaku harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan hasil panen yang stabil.
2. Sumatra & Kalimantan, Harapan Baru Lumbung Nasional
Sumatra berkembang sebagai pusat hortikultura dan jagung. Sementara Kalimantan mulai menunjukkan hasil dari program lumbung pangan baru, terutama untuk padi lahan gambut yang ditanam dengan varietas khusus.
Pemerintah mengandalkan kawasan ini sebagai cadangan produksi masa depan.
3. Nusa Tenggara & Papua, Pangan Lokal Penyokong Ketahanan
Di wilayah timur, pangan lokal seperti sagu, sorgum, dan umbi-umbian telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama. Ketahanan pangan berbasis tradisi ini terbukti lebih tangguh terhadap perubahan iklim.
Pakar pangan menilai model ini dapat menjadi contoh nasional untuk memperkuat adaptasi pangan daerah.
Perempuan dan Pemuda Penggerak Baru Sistem Pangan
Perempuan Desa Penjaga Ketahanan Pangan Rumah Tangga, Kelompok perempuan di desa-desa memegang peran penting melalui, Bank benih, Koperasi pangan, Pengolahan produk lokal, Gerakan konsumsi sehat.
Mereka memastikan ketersediaan pangan rumah tangga tetap terjaga ketika produksi terganggu.
Generasi muda mulai melihat pertanian sebagai peluang bisnis. Mereka memanfaatkan teknologi, membuat komunitas agro-startup, dan menerapkan manajemen lahan berbasis data.
“Pertanian adalah masa depan. Bukan profesi tua, tapi profesi masa depan,” kata seorang petani muda di Lombok.
Ketahanan Pangan Harus Jadi Kebijakan Jangka Panjang. Para ahli menilai bahwa ketahanan pangan tidak bisa hanya bergantung pada peningkatan produksi. Diperlukan kebijakan jangka panjang yang mencakup, Penguatan infrastruktur pertanian, Revitalisasi irigasi nasional, Penyediaan pupuk dan benih yang terjangkau, Efisiensi logistik, Edukasi konsumsi pangan beragam.
Selain itu, kolaborasi akademisi, petani, pemerintah daerah, dan pelaku industri sangat diperlukan untuk memastikan sistem pangan tidak runtuh saat krisis terjadi.
Dari Harapan Petani Hingga Masa Depan Pangan Nasional
Masalah pangan bukan hanya persoalan teknis pertanian. Ia adalah persoalan bangsa. Ketahanan pangan bukan sekadar data dan laporan, melainkan kisah petani yang setiap hari bergantung pada cuaca, tanah, dan harapan.
Suryadi, petani di Indramayu,menutup percakapannya dengan kalimat sederhana namun sarat makna “Air bisa kering, tapi harapan jangan.”
Dan harapan itulah yang kini menjadi pondasi ketahanan pangan Indonesia, harapan yang dibangun setapak demi setapak, dari desa hingga nasional.
Ketahanan pangan bukan sekadar agenda teknis pemerintah atau wacana statistik yang dibahas tiap akhir tahun. Ia adalah penentu masa depan bangsa penjaga apakah Indonesia akan tegak berdiri atau goyah menghadapi krisis global yang makin tak terduga. Dari sawah yang mulai retak di musim kering berkepanjangan hingga pasar rakyat yang menjadi urat nadi distribusi bahan pangan, semua memberi pesan yang sama kita tidak punya waktu untuk menunda.
Di lapangan, para petani sudah berjuang dengan segala keterbatasan, komunitas desa bergerak dengan kreativitasnya, dan teknologi membuka peluang baru. Namun tanpa arah kebijakan yang konsisten, keberpihakan nyata terhadap produsen kecil, dan komitmen panjang dari seluruh pemangku kepentingan, semua langkah itu akan berhenti di tengah jalan.
Kini pertanyaannya bukan lagi mampukah Indonesia menghadapi ancaman krisis pangan, tetapi beranikah Indonesia mengambil langkah-langkah besar untuk memastikan kedaulatan hidup rakyatnya? Di tengah laju perubahan iklim dan tekanan pasar global, ketahanan pangan harus menjadi “garis hidup” yang tak boleh terlepas, sekaligus ladang pembuktian bahwa bangsa ini mampu menjaga masa depannya sendiri.
Jika ada satu hal yang tak boleh kita abaikan, itu adalah kenyataan bahwa setiap butir beras yang terhidang di meja makan keluarga Indonesia hari ini berasal dari perjuangan panjang yang tidak boleh berakhir sia-sia. Ketahanan pangan bukan sekadar urusan perut ia adalah urusan martabat bangsa.(Lina P.Lestari)