RIAU24.COM - Pakar menyoroti efek yang dapat ditimbulkan dari 'kecanduan' ChatGPT. Orang yang terlalu sering menggunakan AI kini mulai mengalami kondisi psikologis baru yang aneh dan mengkhawatirkan.
Ketika orang mulai beralih ke chatbot untuk mencari teman, pasangan romantis, bahkan terapis, risiko ketergantungan terhadap pendamping digital ini semakin meningkat. Ahli bahkan melihat semakin banyak orang mengalami 'psikosis AI' ketika chatbot justru memvalidasi delusi mereka.
"Penggunaan chatbot secara berlebihan merupakan bentuk baru dari ketergantungan digital. AI chatbot menciptakan ilusi realitas, dan itu adalah ilusi yang sangat kuat. Ketika seseorang sudah memiliki pegangan yang rapuh terhadap realitas, ilusi itu bisa menjadi sangat berbahaya," ujar Profesor Robin Feldman, Direktur AI Law & Innovation Institute di University of California Law, dikutip dari Daily Mail, Selasa (4/11/2025).
Salah satu kejadian yang serupa dialami oleh Jessica Jansen (35) di Belgia. Akibat stres menjelang pernikahan meningkat, ia beralih menggunakan ChatGPT hingga batas maksimum akun tiap hari. Seminggu kemudian, ia harus dirawat di rumah sakit jiwa.
Belakangan, diketahui ia mengalami gangguan bipolar yang belum terdiagnosis, hingga mengalami episode mania. Penggunaan AI yang berlebihan disebut memperburuk kondisinya menjadi psikosis penuh.
Selama berbicara dengan chatbot, ChatGPT terus memujinya. Chatbot itu bahkan mengatakan dirinya luar biasa dan meyakinkannya bahwa halusinasinya nyata dan wajar.
"Selama krisis itu, aku tidak sadar bahwa ChatGPT berperan dalam memperburuknya. ChatGPT ikut berhalusinasi bersamaku, membuatku semakin tenggelam ke dalam lubang kelinci (spiral delusi)," cerita Jessica.
"Aku punya banyak pikiran. Aku membicarakannya dengan ChatGPT, dan ia memvalidasi semuanya, bahkan menambahkan ide baru, membuatku semakin terjebak," sambungnya.
Para ahli meyakini kekuatan adiktif chatbot AI berasal dari sifatnya yang suka 'menjilat' atau sycophantic tendencies. Berbeda dari manusia, chatbot diprogram untuk selalu merespons positif terhadap apapun yang dikatakan pengguna.
Chatbot tidak mengatakan tidak, tidak menyalahkan, dan tidak mengkritik pandangan pengguna. Bagi orang yang sudah rentan atau kurang memiliki hubungan sosial di dunia nyata, kombinasi ini sangat 'memabukkan'.
"Large Language Model (LLM) atau model chabot dilatih untuk meniru bahasa dan nada bicara penggunanya. Program ini juga cenderung memvalidasi keyakinan pengguna dan memprioritaskan kepuasan pengguna," kata psikiater dari Aarhus University, Profesor Soren Ostergaard.
Menurutnya Ostergaard, AI tidak secara langsung memicu psikosis atau kecanduan pada orang yang sehat. Namun, dapat bertindak sebagai pemicu bagi mereka yang secara genetik rentan terhadap delusi, terutama penderita gangguan bipolar.
Ahli menilai individu yang rentan secara mental kerap menggunakan AI untuk menenangkan diri atau mencari dukungan emosional, sementara pengguna kompulsif menjadikannya sarana pelarian dan ekspresi diri. Seorang pengguna ChatGPT lain bahkan mengaku kebiasaannya berbicara dengan AI membuatnya semakin menarik diri dari teman-teman dan lebih nyaman mencurahkan isi hati kepada chatbot.
Soal Dampak Chatbot
Neuropsikiater dari King's College London, Dr Hamilton Morrin menyebut hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang kuat terkait kecanduan A. Meski begitu, ia mengatakan memang semakin banyak laporan orang yang memprioritaskan komunikasi dengan chatbot dibandingkan dengan keluarga atau teman.
Menurut Hamilton, kondisi kecanduan AI mungkin dialami oleh sebagian kecil orang. Jika terjadi, pola kecanduannya mirip dengan perilaku kecanduan pada umumnya.
"Kehilangan kendali atas waktu yang dihabiskan bersama chatbot, peningkatan penggunaan untuk mengatur suasana hati atau mengurangi kesepian, mengabaikan tidur, pekerjaan, studi, atau hubungan sosial," kata Hamilton berbicara soal gejala kecanduan yang mungkin muncul.
"Terus menggunakan meski sudah jelas menimbulkan dampak negatif, bersikap tertutup tentang kebiasaan penggunaan, serta munculnya rasa mudah marah atau suasana hati yang buruk ketika tidak dapat mengakses chatbot," tandasnya. ***