Sastrawan dan akademisi Oki Madasari menyebut situasi setahun terakhir sebagai “masa konsolidasi kekuasaan tanpa pembagian peran yang sehat.”
“Prabowo berhasil mengokohkan kekuasaannya. Tapi di sisi lain, posisi Gibran semakin tidak signifikan. Ia tidak terlihat mengambil keputusan penting, tidak punya agenda politik besar, dan lebih banyak berperan simbolik,” kata Oki dalam wawancara di kanal YouTube Forum Keadilan TV yang dikutip Kamis, (23/10).
Prabowo Mengeras di Pusat, Peran Gibran Memudar
Dalam pengamatannya, Oki melihat bahwa satu tahun terakhir menunjukkan arah pemerintahan yang semakin terkonsentrasi di tangan presiden. Beberapa posisi strategis diisi oleh kalangan militer atau tokoh lama yang dikenal dekat dengan Prabowo. Kebijakan besar seperti program ketahanan pangan, pertahanan nasional, hingga pengendalian inflasi dikendalikan langsung dari pusat.
“Ini pola yang sangat kuat dan rapi. Tapi efeknya, ruang bagi wakil presiden jadi nyaris tidak ada,” kata Oki.
Sejumlah analis politik juga menyampaikan pandangan serupa. Peneliti politik dari Universitas Indonesia, misalnya, menilai model kepemimpinan Prabowo adalah centralized governance — pemerintahan yang dikendalikan oleh satu figur dominan. Dalam sistem seperti ini, jabatan wakil presiden cenderung bersifat administratif dan simbolis.
“Gibran tidak tampak punya portofolio kebijakan sendiri. Ia jarang berbicara dalam forum strategis, apalagi memberi arah kebijakan,” kata seorang peneliti politik yang enggan disebut namanya kepada CNN Indonesia.
Pemerintah Dinilai Terlalu Sibuk dengan Citra
Salah satu kritik tajam Oki adalah soal strategi komunikasi pemerintah yang dinilai terlalu fokus pada pencitraan positif. Ia menilai publik kini dibanjiri konten tentang “keberhasilan” pemerintah melalui media sosial dan televisi, sementara kritik substansial tidak diberi ruang memadai.
“Setiap hari kita lihat konten tentang bagi-bagi bantuan, kunjungan daerah, atau program yang diklaim sukses. Tapi di mana kebijakan yang berdampak nyata? Pemerintah terlalu sibuk dengan narasi citra,” ujarnya.
Survei berbagai lembaga memang menunjukkan tingkat kepuasan terhadap pasangan Prabowo–Gibran berada di atas 70 persen. Namun Oki mengingatkan, angka kepuasan bukan berarti bukti efektivitas pemerintahan.
“Kepuasan bisa dibentuk oleh persepsi, bukan kinerja,” katanya.
Kasus Susu Gratis dan Soal Akuntabilitas
Oki menyoroti program populis pemerintah seperti pembagian susu gratis bagi anak sekolah. Program itu, menurutnya, bisa menjadi contoh bagaimana pemerintah lebih fokus pada pencitraan daripada tanggung jawab. Ia menilai pemerintah belum memiliki mekanisme evaluasi publik yang transparan.
“Saat ada kasus keracunan di beberapa daerah, yang muncul bukan evaluasi menyeluruh, tapi pembelaan bahwa jumlahnya kecil. Ini bukan soal besar atau kecilnya angka, tapi soal empati dan akuntabilitas,” tegasnya.
“Dalam demokrasi, kesalahan harus diakui dan diperbaiki. Tapi yang terjadi sekarang justru penyangkalan, seolah semua baik-baik saja,” ujar Oki.
Media Arus Utama dan Strategi Mengelola Kritik
Selain pola komunikasi pemerintah, Oki juga mengkritik peran media arus utama yang dinilai semakin lunak dalam mengawasi kekuasaan. Menurutnya, banyak media lebih memilih menampilkan sisi positif pemerintahan daripada menyoroti kebijakan yang bermasalah.
Ia menyebut, strategi pemerintah saat ini tidak lagi menyerang kritik secara langsung, tetapi “menenggelamkannya” dengan membanjiri ruang publik dengan narasi positif.
“Kritik tajam semakin jarang muncul. Banyak media memilih aman dengan hanya menulis yang manis,” katanya.
“Ini cara halus menguasai opini publik. Kritik tidak dilarang, tapi ditenggelamkan oleh banjir konten optimistik,” ujarnya.
Gibran Sebagai ‘Jembatan Politik’
Oki menilai, posisi Gibran dalam pemerintahan sejak awal bukan karena kapabilitas politik, melainkan fungsi simbolik. Ia menjadi jembatan antara kekuasaan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto — sekaligus strategi politik untuk mengamankan dukungan dari kelompok pendukung Jokowi.
“Gibran adalah jembatan yang sudah dilewati. Setelah kekuasaan terkonsolidasi, jembatan itu tak lagi dibutuhkan,” kata Oki.
Analisis ini sejalan dengan pandangan beberapa pengamat politik yang memprediksi bahwa pengaruh Gibran akan semakin menurun di tahun-tahun mendatang.
Dengan basis politik yang masih rapuh dan ketergantungan pada nama besar Jokowi, Gibran dinilai sulit membangun otoritasnya sendiri di bawah bayang-bayang Prabowo.
Kritik Terhadap Demokrasi Simbolik
Dalam penutup pernyataannya, Oki menegaskan bahwa fenomena ini berbahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia. Ia menilai, jabatan publik seharusnya memiliki makna substantif, bukan sekadar simbol elektoral. Menurutnya, publik perlu terus kritis agar kekuasaan tetap diawasi.
“Kalau kita terus menoleransi jabatan yang hanya berfungsi sebagai pajangan, kita sedang membiarkan demokrasi berubah menjadi panggung pencitraan,” ujarnya.
“Demokrasi hanya bisa hidup jika rakyat berani mempertanyakan. Kalau rakyat diam, kekuasaan akan membungkam dengan cara yang halus,” kata Oki.
Refleksi: Stabilitas di Atas Ketimpangan
Setahun pemerintahan Prabowo–Gibran menunjukkan dua wajah: stabilitas politik yang tinggi, namun disertai ketimpangan dalam distribusi peran dan akuntabilitas.
Konsolidasi kekuasaan berhasil, tetapi partisipasi politik dan ruang kritik semakin sempit.
Gibran, yang semula diharapkan menjadi simbol regenerasi politik, kini justru dipertanyakan relevansinya.
“Simbol tanpa substansi hanya akan menghasilkan kekuasaan yang rapuh,” tutup Oki.
(***)