RIAU24.COM -Gelombang wacana politik 2029 mulai bergulir, meski pemerintahan baru Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka baru genap satu tahun berjalan. Di tengah euforia stabilitas dan kepuasan publik, muncul tanda-tanda bahwa harmoni keduanya mungkin tak akan bertahan lama.
Isu manipulasi survei elektabilitas, konsolidasi elite, hingga upaya menguatkan narasi “lanjutan Jokowi” menjadi sorotan tajam kalangan pengamat politik.
Dalam sebuah diskusi yang tayang di kanal YouTube Hersubeno Ari bersama Bung Roki, Rocky Gerung secara terang menyatakan:
“Saya kok juga yakin ya, Prabowo tidak akan lagi menggandeng Gibran. Tidak ada urgensinya," ucap Rocky gerung di kanal YouTube @RockyGerungOfficial_2024, Kamis (23/10).
Di balik kemesraan politik antara Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, terselip tarikan halus dari kekuasaan lama yang belum sepenuhnya usai. Bagi banyak pengamat, termasuk akademisi dan publik intelektual Rocky Gerung, apa yang tampak sebagai stabilitas politik sesungguhnya menyembunyikan rekayasa sistematis untuk melanggengkan pengaruh Presiden ke-7 Joko Widodo.
“Jokowi tidak pernah benar-benar berhenti berkuasa,” ujar Rocky dalam video analisisnya di YouTube. “Ia hanya berpindah dari kekuasaan formal ke kekuasaan simbolik — meminjam tubuh politik Gibran untuk menjaga kesinambungan pengaruhnya.”
Kekuasaan yang Tidak Pensiun
Dalam pandangan Rocky, relasi Prabowo–Gibran bukan kemitraan politik yang lahir dari kesetaraan ide, melainkan kompromi dari benturan dua kekuatan: kekuasaan lama yang menolak tenggelam dan kekuatan baru yang mencari legitimasi. Prabowo mungkin menjadi presiden secara konstitusional, tetapi Jokowi — melalui Gibran dan jejaring politiknya — masih menguasai narrative power di ruang publik.
Analisis ini tak berdiri sendiri. Kajian dari ISEAS–Yusof Ishak Institute pada 2025 menyoroti gejala continuity politics di Indonesia — di mana kekuasaan tidak lagi bergantung pada jabatan, melainkan pada keberlanjutan jaringan ekonomi, birokrasi, dan citra publik yang telah dibangun oleh rezim sebelumnya. Dalam laporan bertajuk “Post-Presidency Influence in Southeast Asia”, peneliti ISEAS menulis bahwa Jokowi “berhasil menata arsitektur kekuasaan informal melalui loyalis politik, penguasaan partai, dan koneksi bisnis.”
Rocky memandang fenomena itu sebagai tanda kemunduran demokrasi: “Ketika kekuasaan bisa diwariskan, republik berubah menjadi dinasti. Gibran hanyalah instrumen untuk memastikan kekuasaan Jokowi tidak pernah benar-benar bubar.”
Politik Manipulasi dan Kontrol Persepsi
Setelah pelantikan, publik sempat dibuat tenang oleh citra harmonis Prabowo dan Gibran. Namun di balik panggung itu, kata Rocky, sedang berlangsung pertarungan wacana yang jauh lebih halus: perebutan kendali terhadap opini publik.
“Demokrasi Indonesia hari ini dikendalikan bukan lewat senjata atau hukum, tapi lewat narasi,” ucap Rocky. “Siapa yang mengendalikan persepsi, dia yang memegang kekuasaan.”
Dalam era digital, kontrol terhadap persepsi publik tidak lagi dilakukan secara terang-terangan. Seperti dijelaskan dalam riset Reuters Institute Digital News Report 2024, Indonesia termasuk negara dengan tingkat political astroturfing tertinggi di Asia Tenggara — yakni kampanye digital yang menciptakan kesan dukungan publik buatan. Konten media sosial, survei opini, bahkan pernyataan elite kerap disinkronkan untuk mengokohkan narasi bahwa stabilitas politik telah pulih dan bahwa Gibran adalah “wajah muda masa depan.”
Namun bagi Rocky, itu hanyalah “politik imajiner” — demokrasi yang tampak hidup di layar, tapi kehilangan substansi di lapangan. “Media dikontrol bukan dengan sensor, tapi dengan pembiasan makna,” ujarnya. “Kebenaran kini bersaing dengan narasi, bukan dengan fakta.”
Prabowo di Persimpangan Kekuasaan
Konsolidasi politik Prabowo menghadapi dilema. Ia mewarisi kekuasaan yang penuh beban simbolik: citra nasionalisme yang kuat di satu sisi, tetapi juga ekspektasi publik untuk menjadi figur pembebas dari era Jokowi di sisi lain.
Rocky menggambarkan posisi itu sebagai “presidensi di bawah pengawasan bayangan.” Ia menilai Prabowo akan sulit membangun arah politik baru selama ia tetap mengakomodasi kepentingan kekuasaan lama.
“Prabowo adalah presiden yang punya kekuasaan besar tapi kebebasan terbatas,” ucapnya. “Selama Jokowi masih punya kemampuan mengatur narasi, arah pemerintahan akan tetap berada dalam orbit yang sama.”
Analisis itu sejalan dengan pandangan peneliti politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, yang menyebut pemerintahan Prabowo–Gibran sebagai “rezim transisi tanpa transformasi.” Menurutnya, struktur kekuasaan pasca-Jokowi masih diisi oleh loyalis lama yang berfungsi sebagai stabilisator politik, bukan agen perubahan.
Oligarki Ekonomi dan Politik Warisan
Dalam lapisan lebih dalam, politik warisan Jokowi tidak hanya bekerja melalui simbol dan keluarga, tetapi juga lewat struktur ekonomi yang menopang kekuasaan. Sejumlah laporan investigatif menyebut bahwa kelompok bisnis besar yang dulu menopang kebijakan infrastruktur era Jokowi kini ikut menyesuaikan diri dengan arah baru pemerintahan.
Rocky menyebut fenomena itu sebagai “oligarki yang mengganti kostum.” Ia menegaskan bahwa elite ekonomi tidak pernah kehilangan posisi, hanya menyesuaikan dengan wajah baru penguasa.
“Setiap kali kekuasaan berganti, oligarki ikut menyesuaikan. Mereka punya insting bertahan yang lebih kuat daripada ideologi,” ujar Rocky.
Peneliti ekonomi politik dari University of Melbourne, Eve Warburton, dalam risetnya tahun 2024 menyebut bahwa oligarki di Indonesia justru semakin adaptif: mereka mendukung siapa pun yang bisa menjamin kelangsungan akses terhadap sumber daya. Dalam tulisannya di Contemporary Southeast Asia Journal, Warburton menilai “pergantian elite politik di Indonesia lebih bersifat kosmetik daripada struktural.”
2029: Politik yang Disiapkan Sejak Dini
Bagi Rocky, 2029 bukan sekadar tahun pemilu berikutnya, melainkan titik puncak dari proyek panjang kekuasaan. Ia meyakini bahwa sejak awal, keterlibatan Gibran dalam pemerintahan bukan sekadar strategi elektoral, tetapi langkah sistematis untuk menjaga kesinambungan pengaruh Jokowi di masa depan.
“Kekuasaan sedang membangun dirinya lewat anak muda, agar tampak segar,” katanya. “Tapi di balik itu, yang bekerja adalah kalkulasi lama — bahwa kekuasaan tidak boleh mati, hanya perlu ganti wajah.”
Kajian dari Indikator Politik Indonesia (2025) mencatat bahwa popularitas Gibran di kalangan pemilih muda masih tinggi, tetapi 47 persen responden mengaku belum mengetahui gagasan kebijakan apa pun yang diusungnya. Temuan itu memperkuat argumen bahwa Gibran lebih berfungsi sebagai simbol representasi, bukan agen ideologis.
Rocky menyimpulkan dengan kalimat yang mencerminkan kegelisahan publik intelektual:
“Politik kita kehilangan arah moral. Demokrasi berubah jadi panggung sandiwara, di mana rakyat diminta percaya pada aktor yang sama dengan naskah berbeda.”
(***)