RIAU24.COM -Ekonom senior Anthony Budiawan menilai proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) bukan sekadar persoalan infrastruktur, melainkan simbol dari kesalahan berpikir dan tata kelola yang menyesatkan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ia menyebut proyek tersebut sebagai “monster ekonomi” yang terus membebani keuangan negara, sementara pemerintah dinilai berupaya mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahan kebijakan.
“Kita sempat menganggap bahwa persoalan kereta cepat itu wajar. Padahal, ini bahaya laten, monster yang tiap tahun akan datang karena bunganya saja harus kita bayar,” ujar Anthony dalam wawancara di kanal Madilog Channel yang dfikutip Riau24, Senin (20/10/2025).
Proyek kereta cepat yang sejak awal digadang-gadang sebagai bukti kemajuan dan modernisasi transportasi nasional, menurut Anthony, justru menunjukkan bagaimana arah pembangunan lebih dikendalikan oleh citra politik ketimbang kalkulasi ekonomi yang sehat.
Ia menilai keputusan memilih kerja sama dengan China dibanding Jepang adalah langkah yang tidak berpijak pada asas efisiensi, tetapi lebih pada kepentingan kekuasaan jangka pendek.
Anthony menjelaskan, tawaran Jepang jauh lebih menguntungkan dari sisi pembiayaan. Jepang, katanya, memberikan bunga pinjaman hanya 0,1 persen per tahun, sedangkan China menetapkan bunga 2,2 persen.
“Perbandingannya dua puluh kali lipat. Dan kalau bicara pembengkakan biaya, dengan Jepang hanya 0,1 persen, sementara dengan China 3,4 persen, tiga puluh empat kali lipat. Ini jelas ada sesuatu yang tidak wajar,” tegasnya.
Ia menilai proyek ini sejak awal cacat secara konseptual. Studi kelayakan yang seharusnya menjadi dasar perencanaan tidak pernah dibuka secara transparan.
Anggaran awal yang diperkirakan sekitar 6 miliar dolar AS kini membengkak menjadi lebih dari 7,2 miliar dolar AS. Pemerintah pun akhirnya harus menyuntikkan dana penyertaan modal negara (PMN) untuk menutup kekurangan, meski sejak awal proyek itu disebut murni bersifat business to business tanpa beban bagi APBN.
“Ini yang saya sebut kesesatan berpikir. Jokowi selalu cari pembenaran. Kalau ada masalah, dia cari kambing hitam. Setelah itu, dia lepas tangan. Ini pola yang berulang,” ujar Anthony.
Menurutnya, persoalan KCJB tidak bisa dilihat hanya dari sisi teknis. Proyek ini merupakan cermin dari pola pembangunan nasional yang menekankan kecepatan fisik, tetapi mengabaikan arah ekonomi.
“Kecepatan tanpa arah itu berbahaya. Negara ini jadi seperti mobil balap tanpa rem,” tambahnya.
Anthony menegaskan perlunya audit investigasi terhadap seluruh aspek proyek kereta cepat. Ia menduga kuat adanya praktik mark-up dan permainan harga yang dilakukan secara sistematis.
“Solusinya cuma satu: audit investigasi. Harus jelas, apakah mark-up itu dinikmati oleh pejabat Indonesia sendiri, atau ada kerja sama dengan kontraktor dari China?” ujarnya.
Menurutnya, audit biasa tidak cukup. Pemerintah harus membuka seluruh kontrak, struktur biaya, dan pihak-pihak yang terlibat.
Ia juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dari DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga kini, ia melihat belum ada langkah nyata dari kedua lembaga itu untuk memeriksa potensi penyimpangan dalam proyek bernilai triliunan rupiah tersebut.
“DPR belum bulat menjadi lembaga pengawas, dan KPK pun seolah tidak berdaya. Padahal, hampir semua kementerian yang terkait dengan proyek ini punya potensi keterlibatan,” katanya.
Dalam pandangannya, proyek-proyek besar di era Jokowi dijalankan lebih untuk tujuan politik ketimbang kebutuhan publik.
“Inilah sesatnya Jokowi,” ujarnya lantang. “Bukan karena dia jahat, tapi karena cara berpikirnya menyesatkan. Negara ini berjalan berdasarkan keinginan satu orang, bukan sistem.”
Ia menilai obsesi membangun proyek fisik besar seperti bendungan, jalan tol, dan ibu kota baru hanya menjadi simbol, bukan solusi terhadap persoalan ekonomi rakyat.
Anthony menggambarkan proyek kereta cepat sebagai monster ekonomi yang akan terus menghantui keuangan negara. Ia menilai, meski pemerintah mengklaim tidak ada alokasi pembayaran bunga atau utang proyek di APBN 2025, pada kenyataannya beban itu tetap akan kembali ke rakyat.
“BUMN yang menanggung, tapi uang BUMN juga uang rakyat. Jadi akhirnya tetap rakyat yang bayar,” ujarnya.
Menurutnya, beban utang dan bunga proyek bisa berdampak panjang pada defisit anggaran, pelemahan nilai tukar, dan keterbatasan ruang fiskal pemerintah.
Di akhir pernyataannya, Anthony menyerukan pembentukan satuan tugas investigasi khusus yang melibatkan unsur independen, akademisi, dan masyarakat sipil.
“Sebelum semuanya diambil atau dibebankan ke negara, lakukan audit investigasi. Setelah itu baru bicara solusi. Kalau hasil audit membuktikan ada penyimpangan, harus ada penegakan hukum, jangan berhenti di opini publik,” tegasnya.
Bagi Anthony, proyek kereta cepat adalah pelajaran besar bagi bangsa ini. Di balik gemuruh klaim keberhasilan, proyek itu justru menunjukkan wajah pembangunan yang rapuh.
“Kita terlalu mudah terpesona oleh teknologi cepat, tapi kehilangan arah. Kalau negara akhirnya menanggung utang dari proyek yang katanya B2B, maka yang gagal bukan teknologinya, melainkan integritasnya,” ujarnya.
“Rel kereta cepat mungkin lurus,” tutupnya, “tapi arah kebijakan negara ini justru makin berbelok.”
(***)