Kereta Cepat, 'Jebakan Utang' China, dan Isu Mark Up yang Menyeret Jokowi

R24/zura
Kereta Cepat, 'Jebakan Utang' China, dan Isu Mark Up yang Menyeret Jokowi.
Kereta Cepat, 'Jebakan Utang' China, dan Isu Mark Up yang Menyeret Jokowi.

RIAU24.COM -Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) 'Whoosh' yang dibanggakan sebagai simbol modernisasi transportasi massal Indonesia, kini semakin menyeret nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke dalam pusaran kontroversi. 

Bukan hanya soal pembengkakan biaya yang diklaim melebihi skema awal, tetapi juga tuduhan serius mengenai dugaan mark up proyek hingga ancaman jebakan utang (debt trap) dari China yang berpotensi membebani APBN dan rakyat hingga puluhan tahun ke depan.

Pengamat sosial politik Rocky Rocky dalam sebuah diskusi publik menyimpulkan bahwa pusaran skandal ini merupakan konsekuensi dari apa yang ia sebut sebagai "kehilangan pulung" politik oleh sang mantan Presiden.

"Seseorang yang kehilangan pulung tidak lagi punya kemampuan untuk membaca tanda-tanda zaman atau tanda-tanda alam," ujar Rocky Rocky, yang dikutip Riau24 dari laman kanal YouTube @RockyGerungOfficial_2024, Senin (20/10/2025)

"Dan itu yang sedang terjadi sebetulnya pada Pak Jokowi. Pada akhirnya dia tidak bisa tidur nyenyak karena setiap hari netizen membongkar kembali skandal-skandal yang pernah terjadi selama 10 tahun kepresidenan beliau," lanjutnya. 

Indikasi Mark Up dan Peran Cina

Isu mark up menjadi sorotan utama. Rocky menyoroti kejanggalan sejak awal proses pemilihan mitra.

Proyek ini awalnya berada dalam negosiasi dengan Jepang. Namun, Jepang diketahui menarik diri karena hasil studi kelayakan (feasibility study) mereka diduga dipindahkan ke pihak China yang kemudian memenangkan proyek. 

Rocky menegaskan, kalkulasi biaya dengan investasi Jepang sebetulnya jauh lebih masuk akal ketimbang China.

"Terlihat bahwa agak sulit Pak Jokowi untuk menghindar dari tuduhan publik bahwa beliau melakukan mark up," kata Rocky. 

Ia menambahkan, keputusan memaksakan proyek dengan perhitungan yang disebutnya "salah" telah menyebabkan kereta cepat itu kini menjadi beban utang yang harus dibayar oleh pinjaman dari China.

Lebih jauh, ia menggarisbawahi potensi pidana di balik proyek ini. 

"Kerugian itu harusnya dianggap sebagai ketidakcermatan pembuatan kebijakan, dengan akibat bahwa ketidakcermatan itu bisa kesengajaan. Nah, dalam kesengajaan itu, pas pidana itu: mark up lah tanpa konsultasi dengan DPR, misalnya," ujar Rocky. 

Ancaman "Jebakan Utang" Global ala China

Rocky dan sejumlah pihak telah lama menyuarakan kekhawatiran mengenai pola investasi China yang berujung pada debt trap. Proyek KCJB dinilai merupakan kasus klasik dari pola tersebut.

"Cina ini sekarang memang sudah menjadi renter global," jelas Rocky. 

"Artinya, orang diberi utangan, kalau enggak bisa membayar, nah, kemudian ada barang-barang yang disita," tambahnya. 

Pola ini bukan hal baru. Rocky mencontohkan kasus Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka yang akhirnya dikuasai oleh China karena pemerintah setempat gagal membayar utang pembangunan. 

Indonesia, kata Rocky, harusnya sudah bisa mengantisipasi pola China untuk mengambil alih infrastruktur sebagai pengganti ketidakmampuan membayar utang.

"Harusnya kita tahu dari awal dengan pengetahuan bahwa kebiasaan pemerintah Cina ini untuk menjebak partner bisnisnya itu sudah jadi semacam model baru investasi Cina," kritiknya.

Beban Rakyat dan Spekulasi Politik

Kalkulasi para pakar menyebutkan bahwa investasi Kereta Cepat ini baru akan balik modal dalam waktu sekitar 150 tahun. Faktanya, Rocky menyebut utang tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada rakyat, termasuk generasi Z saat ini dan masa depan.

"Anak-anak muda yang hidup sekarang, dia harus membayar utang nanti," ucap Rocky. "Jadi buat apa ada bonus demografi, kalau beban utang itu 5-10 tahun dan mungkin 50 tahun ke depan masih ada pada generasi yang sekarang disebut Gen Z ini?"

Dalam konteks politik terkini, muncul spekulasi yang mengaitkan kasus ini dengan dinamika antara Jokowi dan penggantinya, Prabowo Subianto. Pertemuan-pertemuan antara keduanya, terutama menjelang suksesi, diduga bukan sekadar nostalgia, melainkan negosiasi politik.

Rocky menduga, "Presiden Jokowi tentu mulai terdesak karena kasus-kasus mulai dibuka, dan itu akhirnya harus dimintakan perlindungan. Dan mungkin ada perjanjian ketika Pak Jokowi mengusulkan Gibran untuk dipasangkan atau memaksa Gibran dipasangkan [dengan] Prabowo."

Perjanjian tersebut, menurut analisis Rocky, kemungkinan besar bertujuan untuk proteksi jangka panjang terhadap potensi Jokowi dipersoalkan secara pidana dalam banyak kebijakannya.

Namun, ia mengingatkan bahwa Presiden Prabowo tidak akan mungkin menahan opini publik, terutama mengenai beban utang Kereta Cepat yang jatuh pada rakyat. Demi keadilan dan etika, seluruh "kejahatan rezim sebelumnya" harus diperlihatkan pada publik.

"Demi fairness maka ada peluang untuk mempidanakan Presiden Jokowi," ungkapnya.  

"Kita anggap bahwa kereta cepat itu akan mempercepat membawa Pak Jokowi ke Cipinang [penjara], misalnya begitu kan," pungkasnya. 

Tanda Modernisasi vs Biaya Membengkak

Pemerintah sendiri melalui CNN Indonesia sempat mengklaim bahwa proyek Whoosh menandai modernisasi transportasi massal yang efisien dan ramah lingkungan. 

Presiden Jokowi bahkan pernah mengklaim bahwa biaya pembangunan Kereta Cepat lebih murah dari MRT per kilometer, meski kenyataannya nilai proyek terus membengkak hingga puluhan triliun rupiah, jauh di atas perkiraan awal $5,13 miliar atau sekitar Rp76,95 triliun.

Isu ini diperparah dengan ingkar janji penggunaan dana. Jokowi pada September 2015 menegaskan proyek ini tak akan menggunakan APBN. 

Namun, pemerintah pada akhirnya mengalokasikan anggaran Rp4,1 triliun melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT KAI pada tahun 2022 untuk menambal kekurangan biaya. 

Hal ini semakin menguatkan kritik bahwa proyek ambisius ini telah berubah menjadi beban publik.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak