RIAU24.COM - Dalam wawancara dengan Fox News pada hari Minggu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membantah Trump dan mengatakan bahwa serangan AS tidak sepenuhnya menghancurkan cadangan uranium Iran untuk senjata.
Ia juga menambahkan bahwa Israel mengetahui lokasi penyimpanan 400 kg uranium Iran yang diperkaya.
"Kami tentu tahu di mana letaknya. Kami punya gambaran yang cukup jelas tentang letaknya," kata Netanyahu kepada Fox News, seperti dikutip kantor berita Jerman, DPA.
Serangan AS tidak dimaksudkan untuk menghancurkan cadangan uranium Iran yang diperkaya
Netanyahu mengatakan bahwa meskipun pesawat pengebom B-2 AS menargetkan fasilitas nuklir Iran, Fordo, Natanz, dan Isfahan, mereka tahu 'Kami Tidak Akan Mendapatkannya'.
Serangan itu dimaksudkan untuk menargetkan kapasitas Iran dalam memperkaya lebih banyak Uranium atau menjadikannya senjata.
Komentar Perdana Menteri Israel ini berbeda dengan klaim Presiden AS Donald Trump tentang 'Kerusakan Monumental' atau 'Kehancuran'.
Setelah Operasi Midnight Hammer, Trump dilaporkan mengecam CNN karena menanyakan apakah seluruh cadangan Uranium telah rusak.
"Ada inti uranium yang diperkaya, tetapi Anda harus menempatkan senjata di sekitarnya. Anda tahu, bola-bola yang Anda lihat di semua film itu? Itulah senjata di sekitarnya. Dan kemudian Anda memiliki rudal untuk membawa senjata itu. Itulah yang kami serang. Dan kami serang dengan keras," kata Netanyahu.
Menurut badan pengawas nuklir PBB, IAEA, Iran memiliki 400 kg uranium yang diperkaya 60 persen.
Untuk menggunakannya dalam senjata, uranium tersebut perlu diperkaya hingga kapasitas 90 persen.
Netanyahu mengimbau untuk mempertahankan ‘tekanan diplomatik dan ekonomi’ terhadap Iran guna memblokir akses Iran ke persenjataan nuklir.
Namun, ketika ditanya tentang persenjataan nuklir rahasia Israel, Netanyahu enggan berkomentar.
Pada hari Minggu, Inggris, Jerman, dan Prancis memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran karena gagal mencapai kesepakatan sebelum batas waktu berakhir.
Sanksi tersebut diberlakukan kembali oleh ketiga negara Eropa tersebut atas pelanggaran Iran terhadap perjanjian nuklir Wina 2015.
(***)