Benarkah PBNU dan GP Ansor Terlibat!? Kenapa KPK Belum Tetapkan Tersangka Korupsi Kuota Haji?

R24/zura
Benarkah PBNU dan GP Ansor Terlibat!? Kenapa KPK Belum Tetapkan Tersangka Korupsi Kuota Haji? 
Benarkah PBNU dan GP Ansor Terlibat!? Kenapa KPK Belum Tetapkan Tersangka Korupsi Kuota Haji? 

RIAU24.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk memanggil Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) — kakak dari eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas — serta Ketua Umum GP Ansor, Addin Jauharudin.

Desakan ini muncul agar pengusutan aliran dana kasus dugaan tindak pidana korupsi kuota haji dan penyelenggaraan haji di Kemenag 2023–2024 benar-benar tuntas, termasuk kemungkinan keterlibatan PBNU maupun GP Ansor.

Terlebih, penyidik KPK telah menjadwalkan pemanggilan terhadap Staf PBNU Syaiful Bahri (SB), Wasekjen GP Ansor Syarif Hamzah Asyathry, serta Sekretaris Lembaga Perekonomian PBNU 2021–2026, Zainal Abidin.

Menurut Hudi, apabila terbukti aliran dana kasus kuota haji diterima oleh PBNU maupun GP Ansor, uang tersebut harus disita KPK, baik dalam bentuk uang tunai maupun telah berubah bentuk menjadi aset lain.

"KPK perlu memanggil para ketua itu karena tidak mungkin bawahan diperiksa kalau atasannya tidak diperiksa juga," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, ketika dihubungi Inilah.com, Selasa (16/9/2025).

"Uang itu sebagai salah satu BB (barang bukti). Apabila uang telah berubah menjadi sesuatu, tentu perubahan itu juga dapat disita oleh KPK," ucap Hudi.

Dugaan Aliran Dana

Sebelumnya, KPK menyatakan tengah menelusuri aliran dana kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kemenag tahun 2023–2024 ke organisasi PBNU hingga GP Ansor.

Asep menambahkan, penelusuran aliran dana ini turut melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Jadi, kami sedang melakukan follow the money, ke mana saja uang itu mengalir, seperti itu,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (11/9/2025).

“Karena permasalahan kuota haji ini terkait dengan penyelenggaraan ibadah di salah satu agama. Ini masalah keagamaan, menyangkut umat beragama, proses peribadatan. Jadi, tentunya ini melibatkan organisasi keagamaan,” jelasnya.

KPK memastikan akan mengumumkan penetapan tersangka apabila ada perkembangan terbaru terkait kasus ini.

Budi menjelaskan, penyidikan masih terus berjalan dengan mengumpulkan bukti dari keterangan saksi maupun penyitaan aset terkait dugaan aliran dana kasus kuota haji.

Ia juga meminta semua pihak bersabar menunggu proses hukum yang sedang berjalan.

"Jika sudah ada perkembangan penyidikan perkara ini, termasuk penetapan tersangkanya, kami tentu akan sampaikan," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada Inilah.com, Sabtu (13/9/2025).

“Tindakan-tindakan penyidikan melalui pemeriksaan para saksi, penggeledahan, dan penyitaan terhadap aset yang diduga terkait, juga masih terus dilakukan penyidik,” tuturnya.

“Kita sama-sama tunggu proses penyidikan yang sedang berjalan,” ucap Budi.

Konstruksi Perkara

Kasus ini naik ke tahap penyidikan sejak 8 Agustus 2025 berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum tanpa penetapan tersangka. Kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp1 triliun.

Dugaan korupsi ini bermula dari tambahan kuota 20.000 jemaah haji dari Pemerintah Arab Saudi pada 2023, usai pertemuan Presiden Joko Widodo dengan otoritas Saudi. Tambahan kuota itu kemudian diatur dalam SK Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 15 Januari 2024, yang membagi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

Dari kuota khusus, 9.222 dialokasikan untuk jemaah dan 778 untuk petugas, dengan pengelolaan diserahkan kepada biro travel swasta. Sementara kuota reguler dibagi ke 34 provinsi dengan porsi terbanyak untuk Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Pembagian kuota tersebut diduga melanggar Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur komposisi 92 persen untuk reguler dan 8 persen untuk khusus.

Kondisi ini membuka praktik jual beli kuota dengan setoran dari perusahaan travel kepada pejabat Kemenag sebesar 2.600–7.000 dolar AS per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta hingga Rp113 juta.

Setoran itu berasal dari penjualan tiket haji dengan harga tinggi kepada calon jemaah, disertai janji bisa berangkat di tahun yang sama. Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah reguler yang sudah menunggu bertahun-tahun gagal berangkat karena kuotanya terpotong.

Dari hasil korupsi, oknum Kemenag diduga membeli aset mewah, termasuk dua rumah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang telah disita KPK pada 8 September 2025.

Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melontarkan protes keras terhadap pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyinggung nama organisasinya dalam kasus dugaan korupsi kuota haji. PBNU menegaskan sama sekali tidak pernah menerima aliran dana haji sebagaimana yang ramai disebut.

Ketua Tanfidziyah PBNU, KH Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur menilai, pernyataan KPK telah merugikan nama baik PBNU sekaligus menimbulkan keresahan di kalangan warga Nahdliyin.

Menurutnya, ada dua kerugian besar akibat pernyataan tersebut. Pertama, reputasi institusi, seperti Kementerian Agama, organisasi keagamaan PBNU, hingga individu yang diseret ke publik. Kedua, kerugian bagi masyarakat yang butuh kepastian hukum. 

“Pernyataan KPK terkait dugaan korupsi kuota haji tanpa diikuti langkah hukum konkret telah menimbulkan kerugian besar, baik bagi PBNU maupun masyarakat luas,” tegas Gus Fahrur, Senin (15/9/2025).

“Publik berhak tahu apakah benar ada korupsi, siapa pelakunya, dan bagaimana proses hukum berjalan. Jika hanya sebatas wacana di media, yang terjadi justru kegaduhan dan fitnah,” ujarnya.

Gus Fahrur menegaskan, asas due process of law menuntut adanya keadilan prosedural. Hak-hak pihak yang dituduh harus dilindungi sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jika seseorang atau lembaga diseret ke ruang publik tanpa dibawa ke pengadilan, maka kepastian hukum dilanggar.

Ia juga menyoroti lambannya penyidikan KPK yang menimbulkan pertanyaan tentang kualitas bukti atau faktor lain di baliknya. “Jika bukti belum cukup, seharusnya tidak ada pernyataan publik yang mengaitkan pihak tertentu dengan dugaan korupsi,” imbuhnya.

PBNU menegaskan tidak ada aliran dana haji ke rekening bendahara organisasi. Jika ada oknum yang terlibat, nama pelaku seharusnya disebut jelas tanpa menyeret nama besar PBNU.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak