RIAU24.COM - Pengumuman reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada Senin (8/9/2025) memunculkan kembali perbincangan tentang arah politik pemerintahan baru.
Filsuf politik Rocky Gerung menilai, perombakan ini baru sebatas “radical break” parsial, bukan perubahan besar yang sepenuhnya memutus jejak pemerintahan sebelumnya.
Menurut Rocky, reshuffle kali ini hanyalah “cicilan” awal dari rangkaian perubahan lebih luas yang akan datang.
“Reshuffle kali ini disebut radikal juga karena dalam tempo relatif singkat Presiden Prabowo mendengar tuntutan rakyat dan harus dilayani. Namun, ini baru cicilan pertama,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang diunggah di kanal YouTube @RockyGerungOfficial_2024, Senin (9/9/2025).
Pergantian Lima Menteri
Dalam reshuffle kedua sejak Kabinet Merah Putih terbentuk Oktober 2024 lalu, Presiden Prabowo mengganti lima menteri sekaligus. Menteri Keuangan Sri Mulyani digantikan oleh ekonom Purbaya Yudhi Sadewa.
Posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) serta Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) juga dirombak, meski hingga pelantikan berlangsung belum ada nama definitif yang ditetapkan.
Selain itu, Menteri Koperasi dan UKM serta Menteri P2MI (Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) juga diganti. Presiden sekaligus mengumumkan pembentukan Kementerian Haji dan Umrah, menandai adanya penyesuaian struktur kabinet.
Bagi Rocky, perubahan ini memang signifikan, tetapi masih menyisakan “wilayah abu-abu”.
“Masih ada jabatan yang dijabat ex officio. Itu artinya negosiasi politik masih berlangsung. Jadi belum terlihat benar-benar sebagai sebuah radical break,” katanya.
Menjawab Tuntutan Publik
Rocky menilai reshuffle ini bukan sekadar langkah teknokratis, melainkan respons langsung terhadap kegelisahan masyarakat. Ia menyebut, demonstrasi yang terjadi pekan sebelumnya menjadi faktor penting yang mendorong pemerintah bergerak cepat.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa publik masih menanti tindakan lanjutan.
“Reshuffle ini adalah upaya untuk meredakan suasana. Tuntutan publik harus dianggap serius, tidak cukup dijawab dengan janji. Karena itu presiden mesti melakukan tindakan konkret,” tutur Rocky.
“Secara psikologis, orang sedikit banyak mulai merasa lebih pasti karena ada pergantian. Tetapi secara sosiologis, masyarakat menuntut sesuatu yang lebih besar: sebuah pemutusan hubungan dengan rezim sebelumnya,” ujarnya.
Jarak dengan Jokowi
Bagi Rocky, langkah Prabowo merombak kabinet juga bisa dibaca sebagai strategi mencicil jarak dengan Presiden Joko Widodo. Ia menilai, pembatalan beberapa proyek strategis serta pergeseran figur di kabinet adalah sinyal bahwa Prabowo berusaha menegaskan identitas pemerintahannya sendiri.
Ia tak segan menuding pemerintahan Jokowi sebagai penyebab merosotnya kualitas demokrasi di Indonesia.
“Dalam enam bulan ini terlihat Presiden Prabowo berupaya mengambil jarak dari Presiden Jokowi. Ada deep psychology rakyat yang menghendaki penghukuman terhadap rezim sebelumnya. Itu yang masih berlanjut,” kata Rocky.
“Dalam 10 tahun, demokrasi dilemahkan. Indeks korupsi memburuk, indeks demokrasi menurun, dan legitimasi lembaga negara terkikis. Semua itu warisan dari pemerintahan sebelumnya,” ujar Rocky.
Politik Harapan
Di balik kritik tajamnya, Rocky tetap menekankan pentingnya membangun “politics of hope” di era Prabowo. Reshuffle, meski parsial, dianggapnya sebagai pintu kecil yang membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar.
Ia juga mengingatkan perlunya pendidikan politik yang serius bagi partai-partai, terutama dalam menyiapkan calon legislatif.
“Mini radical break ini adalah pintu pertama. Tetapi publik masih menunggu pintu besar dibuka. Di situlah diharapkan pemerintahan Prabowo terbaca sebagai pemerintahan dirinya sendiri, bukan bayangan rezim lama,” kata dia.
“Banyak orang masuk DPR hanya bermodal popularitas, tanpa mengerti ide demokrasi atau sejarah intelektual bangsa. Partai harus punya kurikulum yang membekali kader dengan cara berpikir kritis,” ujarnya.
Reshuffle sebagai Katarsis
Rocky menutup refleksinya dengan menyebut reshuffle kali ini sebagai bentuk katarsis politik. Langkah ini, menurut dia, menyalurkan kemarahan publik agar tidak meledak tak terkendali.
“Kalau tidak dibuatkan kanal, protes rakyat bisa meluap. Reshuffle ini membuat Presiden terlihat sensitif terhadap tuntutan. Tetapi masih ada pintu-pintu lain yang harus dibuka agar benar-benar terbaca sebagai pemerintahan yang jujur, adil, dan demokratis,” kata Rocky.
Dengan demikian, reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo bukan hanya soal pergeseran kursi menteri, tetapi juga penanda awal perubahan arah politik nasional. Publik kini menunggu, apakah cicilan pertama ini akan berlanjut menjadi pemutusan tegas dengan masa lalu atau sekadar kompromi politik jangka pendek.
(***)