RIAU24.COM - Protes di Nepal telah berubah menjadi kerusuhan terburuk di negara itu dalam beberapa dekade, bahkan setelah Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri pada hari Selasa (9 September).
Kepergiannya menyusul tiga hari demonstrasi penuh kekerasan yang dipicu oleh larangan media sosial yang hanya berlangsung sebentar dan dipicu oleh kemarahan atas korupsi.
Setidaknya 22 orang tewas dalam bentrokan dengan polisi.
Namun, alih-alih meredakan ketegangan, kepergian Oli justru meninggalkan kekosongan kepemimpinan dan menimbulkan pertanyaan baru tentang siapa yang bertanggung jawab.
Demonstran bakar gedung parlemen dan penjara dibobol
Pada hari Selasa, massa menyerbu dan membakar gedung parlemen di Kathmandu, dengan asap tebal membumbung di ibu kota.
Gedung-gedung pemerintahan dan rumah-rumah politisi senior juga diserang.
Para pejabat mengonfirmasi bahwa 900 narapidana melarikan diri dari dua penjara di Nepal bagian barat.
Di dalam gedung parlemen, para demonstran yang bersorak-sorai memecahkan jendela, menyemprotkan slogan-slogan anti-pemerintah, dan menari-nari di sekitar api unggun sambil mengibarkan bendera nasional.
Siapa yang memimpin Nepal sekarang?
Pengunduran diri Oli belum meninggalkan pengganti yang jelas, sementara beberapa menteri dilaporkan mencari perlindungan di pasukan keamanan.
Presiden Nepal Ram Chandra Poudel telah menerima pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli, tetapi mengatakan kabinetnya akan terus menjalankan pemerintahan hingga Dewan Menteri baru terbentuk.
"Karena pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli telah diterima, diperlukan kerja sama dari semua pihak yang mencintai negara, rakyat, dan demokrasi, untuk menemukan solusi atas kebuntuan yang ada," ujar Presiden.
Presiden menambahkan bahwa kabinet saat ini akan berfungsi sesuai Pasal 77 (3) Konstitusi hingga kabinet baru mengambil alih.
Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, memperingatkan para pengunjuk rasa agar tidak melakukan penjarahan dan pembakaran, dengan mengatakan, "Semua lembaga keamanan, termasuk Angkatan Darat Nepal, berkomitmen untuk mengendalikan situasi."
Pasukan kini berpatroli di jalan-jalan, meskipun militer juga telah mengundang para pengunjuk rasa untuk berdialog.
Masih belum pasti siapa perwakilan para pengunjuk rasa, karena gerakan ini tidak memiliki kepemimpinan yang jelas dan tumbuh dari seruan aksi daring.
Satu-satunya tokoh politik arus utama yang secara terbuka mendukung para pengunjuk rasa sejauh ini adalah Wali Kota Kathmandu, Balen Shah.
Apa yang dituntut para pengunjuk rasa?
Demonstrasi bermula sebagai reaksi atas larangan mendadak pemerintah terhadap media sosial, yang dicabut pada hari Senin.
Namun, kemarahan tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan antikorupsi yang lebih luas.
Para pengunjuk rasa, kebanyakan mahasiswa, berpendapat bahwa larangan tersebut merupakan serangan terhadap kebebasan berbicara dan menuduh para politisi melakukan korupsi.
Seruan mereka kini berfokus pada tuntutan akuntabilitas dan diakhirinya apa yang mereka sebut praktik korupsi.
Salah satu ciri khas kerusuhan ini adalah slogan viral #NepoBaby dan #NepoKids, yang membanjiri TikTok dan Instagram.
Video yang membandingkan gaya hidup mewah keluarga politisi, mobil mewah, perjalanan ke luar negeri, dan pakaian desainer, dengan perjuangan rakyat Nepal biasa.
Para pengunjuk rasa mengatakan keluarga-keluarga ini hidup makmur berkat privilese dan uang publik, sementara banyak anak muda menghadapi pengangguran dan migrasi ke luar negeri.
(***)