Rocky Gerung Curiga Kenapa Tuntutan Aksi Tak Singgung Fufufafa & Geng Solo

R24/zura
Rocky Gerung Curiga Tuntutan Aksi Tak Singgung Fufufafa & Geng Solo. (Tangkapan layar)
Rocky Gerung Curiga Tuntutan Aksi Tak Singgung Fufufafa & Geng Solo. (Tangkapan layar)

RIAU24.COM - Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia kembali menempatkan politik jalanan sebagai barometer keresahan rakyat. 

Ribuan massa turun ke jalan dengan tuntutan yang cepat viral di media sosial, namun publik dibuat bertanya-tanya: mengapa isu-isu sensitif seperti dugaan ijazah Presiden Joko Widodo, polemik dinasti Gibran Rakabuming, atau kasus yang populer disebut Fufu Fafa tidak muncul dalam daftar resmi tuntutan?

Pengamat politik Rocky Gerung membaca fenomena ini bukan sekadar gerakan spontan, melainkan tanda perubahan besar dalam cara rakyat berpolitik. 

“Kita sedang menyaksikan kultur politik baru yang dikendalikan oleh isu, bukan tokoh,” ujarnya dalam diskusi di kanal FNN.

Dalam pandangan Rocky, demonstrasi kali ini mencerminkan politik anomi—politik tanpa struktur kepemimpinan resmi. Jika dulu gerakan massa selalu diasosiasikan dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), serikat buruh, atau partai politik, kali ini koordinasi lebih banyak lahir dari interaksi di media sosial.

“Demonstrasi lahir dari koordinasi sosial media, tanpa pemimpin formal dari partai atau organisasi,” kata Rocky.

Kondisi ini juga melibatkan generasi muda dengan motif yang berlapis. Banyak dari mereka datang ke jalan bukan karena ideologi atau afiliasi politik, melainkan karena fenomena fear of missing out (FOMO). 

“Kalau tidak ikut demo, mereka merasa tidak eksis. Tapi jangan salah, ini bukan sekadar gaya, melainkan ekspresi radikal tentang masa depan,” jelas Rocky.

Ketimpangan Jadi Bahan Bakar

Rocky menekankan, faktor utama di balik gelombang aksi ini adalah ketidakadilan yang menumpuk. Ia menyebut disparitas ekonomi, ketimpangan sosial, dan krisis moral elit politik sebagai bahan bakar utama.

“Publik kini menuntut sesuatu yang sederhana: kebenaran dan keadilan,” ujarnya.

Partai politik, menurut Rocky, gagal menjalankan fungsi agregasi aspirasi. Dalam kekosongan itu, netizen justru mengambil alih peran sebagai penghubung keresahan publik.

Ia mengingatkan bahwa tuduhan makar atau terorisme yang sempat dilontarkan Presiden Prabowo Subianto terhadap aksi massa justru menunjukkan jauhnya jurang antara rakyat dan penguasa.

Meski gelombang protes membawa berbagai tuntutan, publik masih bertanya: mengapa isu-isu laten seperti Fufu Fafa atau dugaan ijazah Jokowi tidak disentuh? 

Rocky menilai, ketidakhadiran isu-isu itu tidak berarti publik melupakannya.

“Itu bagian dari deep psychology publik,” kata Rocky. “Kalau isu laten ini tidak dituntaskan, ia akan selalu jadi alasan bagi publik untuk kembali turun ke jalan.”

Bagi Rocky, warisan dari satu dekade pemerintahan Jokowi masih membayangi. Presiden Prabowo kini memikul beban untuk tampil sebagai pemimpin otentik yang berani berjarak dari bayang-bayang pendahulunya.

“Kalau Prabowo ingin diakui sebagai pemimpin sejati, ia harus melepaskan diri dari warisan Jokowi. Kalau tidak, dia hanya akan jadi aktor baru dalam drama lama,” tegas Rocky.

Politik Era Netizen

Gelombang demonstrasi terbaru memperlihatkan wajah baru demokrasi Indonesia: era politik netizen. Publik tidak lagi menunggu lobi politik atau instruksi elit. Begitu isu viral, massa bergerak.

“Orang tidak lagi menunggu lobi politik. Begitu ada isu viral, mereka langsung turun ke jalan,” kata Rocky.

Ia menambahkan, relasi sublim antara masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, dan diaspora Indonesia di luar negeri kini membentuk jaringan global yang menjaga akal sehat. 

“Ini kekuatan baru yang tak bisa diremehkan,” ujarnya.

Fenomena demonstrasi ini menunjukkan benturan antara rules yang dibuat penguasa dengan values yang dipegang publik. Ketika aturan formal tidak lagi sejalan dengan nilai keadilan, benturan sosial menjadi tak terhindarkan.

Dalam pandangan Rocky, aksi-aksi massa ini hanyalah gejala permukaan dari akumulasi kekecewaan rakyat. Isu-isu yang tidak diucapkan, seperti Fufu Fafa atau ijazah Jokowi, tetap akan membayangi politik Indonesia sampai ada penyelesaian yang jujur.

“Indonesia sedang masuk era di mana netizen, bukan elit, yang menentukan arah politik. Ini wajah baru demokrasi kita,” pungkas Rocky.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak