Dalam sebuah diskusi di kanal YouTube Refly Harun, seorang politikus senior Habil Marati menyebut wacana tersebut dapat membuka jalan rekonsiliasi nasional.
Menurutnya, Prabowo memiliki peluang memperkuat pemerintahannya jika mampu merangkul tokoh-tokoh yang sebelumnya pernah berseberangan.
“Prabowo ini bukan orang yang menyimpan dendam. Dia bisa selesai dengan masa lalu, tidak ada kebencian turun-temurun. Karena itu, memasukkan Gatot, Anies, Ganjar, bahkan Megawati, akan menunjukkan rekonsiliasi sejati,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Politikus PPP tersebut juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo terkait aksi demonstrasi akhir Agustus lalu yang disebut mengarah pada makar dan terorisme. Ia menekankan bahwa ucapan seorang presiden tidak bisa dianggap sepele.
Ia pun memperingatkan aparat untuk tidak serta-merta menuding mahasiswa atau aktivis.
“Seorang presiden tidak mungkin main-main mengucapkan kata makar atau terorisme. Itu pasti berdasarkan informasi intelijen dari instrumen negara seperti BIN atau kepolisian. Maka, hal ini harus diverifikasi dan dibuktikan,” katanya.
“Mahasiswa itu basisnya intelektual. Mereka kritis tapi tetap dalam koridor hukum. Tidak mungkin mahasiswa melakukan makar atau terorisme, apalagi membakar rumah pejabat. Jadi jangan dijadikan kambing hitam,” tambahnya.
Habil itu juga mengingatkan pengalaman pada 2019 ketika sejumlah tokoh terseret kasus makar pasca-aksi di Bawaslu. Ia menyebut nama-nama seperti Kivlan Zen, Egi Sujana, dan Lius Sungkarisma yang ikut terjerat, termasuk dirinya sendiri.
“Saya sendiri pernah mendekam delapan bulan dengan tuduhan makar. Tuduhannya saya membiayai pembelian senjata, bahkan dituduh ingin membunuh jenderal. Jumlah yang disebut hanya Rp15 juta, mana mungkin untuk makar? Itu tuduhan nonsens,” ungkapnya.
Ia menilai pola kriminalisasi seperti itu tidak boleh terulang, karena akan merusak kepercayaan publik terhadap aparat.
Isu makar, menurutnya, juga dapat menimbulkan dampak luas terhadap stabilitas ekonomi. Investor, kata dia, akan ragu menanamkan modal jika pernyataan presiden tidak diikuti dengan bukti nyata.
“Kalau presiden bilang ada makar, tapi buktinya tidak jelas, investor pasti mundur. Padahal kita ingin negeri ini aman agar pembangunan berjalan,” ujarnya.
Sebagai solusi, Habil mengusulkan pembentukan Tim Pencari Fakta Independen (TPF) untuk menyelidiki tudingan makar tersebut. Nama Gatot Nurmantyo dinilai tepat untuk memimpin tim karena rekam jejak dan integritasnya.
“Saya usulkan Gatot Nurmantyo memimpin tim pencari fakta, didampingi tokoh kredibel seperti Abraham Samad, B. Jayanto, dan R. Harun. Tim ini independen, agar publik percaya bahwa isu makar bukan pepesan kosong,” jelasnya.
Lebih jauh, ia juga menyoroti komposisi kabinet Prabowo yang dinilai masih terlalu dipengaruhi oleh pemerintahan sebelumnya.
“Sekitar 70 persen kabinet saat ini adalah orang Jokowi. Itu membuat kabinet seperti carry over, hanya meneruskan pemerintahan lama. Padahal Prabowo harus independen, tidak bergantung pada mantan presiden mana pun,” katanya.
Menurutnya, reshuffle seharusnya menjadi momentum Prabowo untuk menghadirkan wajah baru kabinet yang mencerminkan arah kepemimpinannya sendiri.
Habil pun menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perombakan kabinet bukan semata bagi-bagi kursi, tetapi dapat dijadikan instrumen rekonsiliasi nasional.
“Prabowo tidak pernah menyimpan dendam. Dengan merangkul Anies, Gatot, Ganjar, bahkan Megawati, akan muncul rekonsiliasi besar. Itu bukan sekadar politik, tetapi menunjukkan persatuan nasional,” katanya.
Ia menilai langkah itu akan memperkuat pemerintah, menjaga stabilitas, sekaligus meningkatkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap arah baru kepemimpinan Prabowo.
(***)