Megawati Desak Prabowo Basmi Buzzer, Rocky Gerung Bicara ‘Demokrasi Buzzerisme’ dan Bayangan Dinasti

R24/zura
Megawati Desak Prabowo Basmi Buzzer, Rocky Gerung Bicara ‘Demokrasi Buzzerisme’ dan Bayangan Dinasti.
Megawati Desak Prabowo Basmi Buzzer, Rocky Gerung Bicara ‘Demokrasi Buzzerisme’ dan Bayangan Dinasti.

RIAU24.COM -Di hadapan tamu undangan dan hadirin yang memadati Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada Senin (11/8/2025) siang, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri mengangkat satu isu yang sering disebut, tapi jarang dibicarakan langsung di hadapan Presiden: buzzer.

Bagi Megawati, fenomena buzzer di media sosial bukan sekadar gangguan kecil di dunia maya. Ia menganggapnya sebagai sumber keretakan sosial yang nyata. “Sudah saya titipkan melalui seseorang supaya Pak Prabowo membuang buzzer-buzzer yang hanya membuat perpecahan di antara kita sendiri, belum tentu faktanya benar,” ujarnya dengan nada tegas, yang disambut riuh tepuk tangan.

Ia menantang cara berpolitik yang sembunyi di balik layar akun anonim. “Kalau tidak suka sama saya, berdiri. Katakan tidak setuju. Saya terima, tapi mari berargumentasi yang benar,” katanya, seolah ingin mengembalikan etika debat publik ke jalurnya—sesuatu yang mungkin terasa usang di tengah derasnya arus komentar 280 karakter.

Megawati tidak menutupi kecurigaannya bahwa buzzer bergerak bukan karena idealisme, tetapi demi honorarium. “Padahal buzzer itu hanya juga dengan uang. Kalian itu siapa? Kalau kalian dibuat seperti itu, lalu bagaimana?” ucapnya, sambil menyiratkan heran yang mungkin lebih cocok untuk drama politik ketimbang ruang diskusi akademik.

Prabowo dan Narasi “Indonesia Cerah”

Beberapa pekan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto sempat menyentil buzzer saat menutup Kongres PSI di Surakarta, 20 Juli 2025. Ia menolak narasi yang ia sebut sebagai “rekayasa” pihak tertentu, termasuk tersangka korupsi, yang membayar buzzer untuk menyebarkan pesimisme melalui tagar seperti Indonesia Gelap.

“Indonesia cerah, masa depan Indonesia cerah. Saya sudah lihat angka-angkanya,” kata Prabowo, dengan nada optimistis khas pidato penutup yang ingin menghapus kesan gaduh di media sosial.

Namun, kritik Megawati kali ini terdengar lebih spesifik: ia bukan hanya menolak narasi pesimisme, tetapi juga meminta buzzer dibersihkan dari ekosistem politik. Pesan ini, meski disampaikan melalui “jalur seseorang”, punya nada yang lebih mirip ultimatum ketimbang saran.

Rocky Gerung: Dari Buzzer ke Buzzerisme

Pernyataan Megawati cepat mendapat tanggapan dari pengamat politik Rocky Gerung. Dalam tayangan kanal YouTube-nya, Kamis (15/8/2025), Rocky justru memperluas konteks pernyataan itu. Ia mengingatkan bahwa buzzer telah menjadi tulang punggung pencitraan Presiden Joko Widodo selama satu dekade terakhir.

“Buzzer itu identik dengan Jokowi. Dalam 10 tahun, kekuatan pencitraannya didasarkan pada buzzer,” kata Rocky, sembari mengisyaratkan bahwa warisan ini akan sulit diputuskan hanya dengan satu instruksi presiden baru.

Bagi Rocky, buzzer tidak sekadar aktor di belakang layar; mereka adalah bagian dari arsitektur kekuasaan. Ia menamainya “demokrasi buzzerisme” — suatu bentuk demokrasi yang tak lagi berdiri di atas perdebatan rasional, tetapi di atas amplop dan algoritma. “Itu yang bikin demokrasi kita keruh,” ujarnya.

Rocky juga melihat motif politik yang lebih besar. Menurutnya, maraknya aktivitas buzzer saat ini bukan hanya untuk mempertahankan citra Jokowi, tetapi juga untuk mengamankan posisi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, di kursi wakil presiden, dan bahkan membuka jalan menuju kursi presiden.

“Dengan Gibran sebagai presiden, dinasti Jokowi bisa tidak hanya diteruskan, tetapi juga dilindungi dari kemungkinan kasus hukum,” ucapnya.

Antisipasi Pemakzulan dan Pertemuan Tertutup

Rocky menambahkan, gelombang posting buzzer dalam beberapa pekan terakhir mungkin tidak lepas dari isu pemakzulan Gibran yang mulai dibicarakan di sejumlah forum politik. Ia mengaitkan ini dengan pertemuan Gibran dan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, yang dinilainya sebagai manuver strategis Jokowi membaca arah politik nasional.

“Mereka yang mengamati lalu lintas media sosial tahu, dalam seminggu terakhir buzzer lagi panen. Mungkin habis terima amplop, maka dikerahkan,” sindirnya.

Potret Lama, Layar Baru

Fenomena buzzer memang bukan barang baru di panggung politik Indonesia. Namun, kritik terbuka dari Megawati dan analisis tajam Rocky Gerung membuat isu ini kembali menjadi sorotan. Di era di mana popularitas sering kali ditentukan oleh kecepatan trending topic, pertanyaan Megawati—“Kalian itu siapa?”—mungkin lebih relevan daripada sekadar sindiran.

Apakah buzzer akan benar-benar dibersihkan dari lanskap politik, atau justru akan berevolusi menjadi bentuk yang lebih canggih, masih menjadi tanda tanya. Yang jelas, di tengah kritik, seruan, dan sindiran, buzzer tetap berkicau—mungkin kini dengan nada yang sedikit lebih waspada.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak