Kesepakatan Prabowo-Trump soal tarif 19 persen Benarkah Menguntungkan? Pakar Ini Ungkap Kebenarannya...

R24/zura
Kesepakatan Prabowo-Trump soal tarif 19 persen Benarkah Menguntungkan? Pakar Ini Ungkap Kebenarannya... (X/Foto)
Kesepakatan Prabowo-Trump soal tarif 19 persen Benarkah Menguntungkan? Pakar Ini Ungkap Kebenarannya... (X/Foto)

RIAU24.COM -Indonesia dan Amerika Serikat (AS) akhirnya mencapai kesepakatan dalam bidang tarif perdagangan yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump

Kesepakatan itu dicapai setelah Presiden RI Prabowo Subianto berbicara dengan Trump via telepon selamat 17 menit.

Usai keduanya mengobrol, Trump mengumumkan kesepakatan dagang baru antara AS dan Indonesia di media sosial buatannya Social Truth.

Dalam pengumuman tersebut, Trump menyatakan AS mengenekan tarif impor sebesar 19 persen ke Indonesia, turun dari sebelumnya 32 persen.

"Mereka akan membayar 19 persen, dan kami tak akan membayar apapun. Kami akan punya akses penuh ke Indonesia," ujar Trump. Namun, sejauh ini tak ada informasi lebih lanjut kapan mulai berlaku tarif tersebut.

Di unggahan terpisah, Trump menyebut sebagai bagian dari perjanjian, Indonesia harus membeli energi AS senilai US$15 miliar, produk pertanian Amerika senilai US$4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing.

Presiden Prabowo Subianto melalui akun Instagramnya @prabowo, ia mengatakan meski Indonesia kena tarif 19 persen dan AS 0 persen, Indonesia harus impor energi, produk pertanian dan pesawat, kesepakatan itu merupakan yang terbaik.

"Saya baru saja melakukan pembicaraan yang sangat baik dengan Presiden Donald Trump. Kami sepakat untuk membawa hubungan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat ke era baru yang saling menguntungkan bagi kedua negara kita yang besar," tulisnya di Instagram @prabowo, Rabu (16/7).

Benarkah klaim Prabowo itu, apa keuntungan Indonesia?

Seperti yang dilaporkan oleh CNNIndonesia.com, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan kesepakatan tarif RI dikenakan sebesar 19 persen sedangkan AS sebesar 0 persen mungkin terlihat tidak adil secara ekonomi.

Namun, kebijakan perdagangan (trade policy) dalam perdagangan internasional katanya merupakan bagian dari kebijakan geopolitik (geopolitical policy). Karena itu, tidak bisa hanya nilai berdasarkan angka.

"Walaupun istilahnya reciprocal theory, tapi reciprocal itu tidak harus bermakna bahwa situ kenakan satu, saya juga kenakan satu. Jadi lebih kepada pertimbangan comparative advantage, pertimbangan keuntungan yang bisa didapat Indonesia dan kekurangan yang bisa diterima oleh Indonesia saat menerapkan aturan itu," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Dengan konsep seperti itu, Ronny menilai kesepakatan tarif Indonesia-AS sudah adil. Ia menilai syarat RI harus impor produk energi, pertanian, hingga pesawat sebenarnya mekanisme perdagangan yang biasa saja karena memang RI tidak bisa memproduksinya sendiri.

"Sehingga kalau dinolkan tarifnya, misalkan Boeing, tarifnya dinolkan, itu yang untung perusahaan airline Indonesia saat mereka beli Boeing. Karena harganya jauh lebih murah daripada sebelumnya. Dan Indonesia enggak rugi, karena Indonesia nggak bisa bikin pesawat," katanya.

Begitu juga dengan komoditas energi seperti BBM. Ronny mengatakan RI sudah impor energi dari Negeri Paman Sam sejak dulu. Ia mengatakan nilai impor energi dari AS lebih US$15 miliar tahun lalu.

Kemudian untuk produk pertanian seperti gandum, ia mengatakan RI memang tidak bisa memproduksi gandum.

"Dari dulu juga kita impor gandum. Dari Ukraina, dari Rusia, sampai dari Amerika. So it's okay, no problem," katanya.

"Jadi artinya semua yang kita impor selama ini, kita impor tetap dari Amerika dengan tarif yang nol, sehingga akan lebih murah di Indonesianya. Akan menguntungkan perusahaan dan konsumen Indonesia," tambahnya.

Sebaliknya, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS sejatinya menempatkan RI dalam posisi yang timpang.

Ketimpangan ini jelas membuka jalan bagi produk-produk asal AS dari sektor pertanian, otomotif, hingga energi untuk menguasai pasar lokal dan menekan daya saing produk dalam negeri.

"Ketika barang impor menjadi lebih murah karena bebas tarif, maka pelaku usaha lokal akan menghadapi tekanan besar, dan ruang bagi industrialisasi nasional pun semakin menyempit," katanya.

Ia mengatakan banjirnya barang-barang impor berpotensi melemahkan industri dalam negeri, terutama sektor-sektor yang belum sepenuhnya kompetitif. Tekanan ini bisa memicu penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja, bahkan gejala deindustrialisasi dini.

"Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal dan moneter pun akan semakin tertekan. Pemerintah mungkin harus mengalokasikan subsidi tambahan untuk meredam dampak sosial ekonomi," katanya.

Tak berhenti di situ, sambungnya, kesepakatan ini juga dibebani komitmen pembelian dalam jumlah besar yang lebih menyerupai kewajiban sepihak ketimbang transaksi dagang saling menguntungkan.

Komitmen senilai US$15 miliar untuk membeli energi dari AS berpotensi menggantikan sumber energi domestik atau alternatif dari negara mitra lain.

Sedangkan impor produk pertanian sebesar US$4,5 miliar seperti kedelai, jagung, dan daging bisa menggerus pendapatan petani lokal yang selama ini bertahan di tengah subsidi terbatas.

"Pembelian 50 pesawat Boeing pun menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini benar-benar bagian dari strategi modernisasi transportasi, atau justru akan membebani APBN dan BUMN penerbangan di tengah masalah efisiensi dan daya beli masyarakat yang belum pulih?" katanya.

Syafruddin mengatakan kesepakatan tersebut bukan sekadar perjanjian dagang, melainkan paket pembelian sepihak yang melemahkan fondasi kemandirian ekonomi nasional RI.

"Dalam kerangka kesepakatan ini, Indonesia lebih terlihat sebagai pasar konsumtif yang pasif, bukan mitra dagang yang setara dan berdaulat," katanya.

Mengutip CNNIndonesia.com, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengakui bahwa tarif 19 persen yang diberikan AS memang terendah di kawasan ASEAN, jika dibandingkan dengan negara seperti Malaysia (25 persen), Vietnam (20 persen), Thailand dan Kamboja (36 persen), serta Laos dan Myanmar yang di atas 40 persen.

Namun menurutnya, keberhasilan diplomasi harus dibayar Indonesia dengan sejumlah konsekuensi.

"Kita memang mendapat tarif rendah, tapi apa yang dikorbankan? Kepentingan Trump jelas: mengurangi defisit dagang dengan Indonesia dan membuka akses seluas-luasnya ke pasar kita," ujar Fabby dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Rabu (16/7/).

Fabby mengatakan kesepakatan impor yang dilakukan Indonesia demi mendapatkan tarif murah dari Trump bisa berdampak pada daya saing industri dalam negeri.

Pasalnya, biaya impor gas dari AS bisa 30-40 persen lebih mahal dibandingkan jika komoditas itu diambil dari Timur Tengah atau negara tetangga seperti Singapura.

Maklum, jarak pengiriman impor energi menjadi lebih jauh jika harus membeli dari AS.

"Jika kita impor LNG dari AS, biayanya jauh lebih tinggi. Padahal industri dalam negeri kita sangat tergantung pada gas dan pemerintah menerapkan harga gas industri yang ditetapkan. Ini bisa berdampak besar pada daya saing industri kita," ujarnya.

Fabby juga menyinggung kemungkinan AS meminta akses lebih besar terhadap komoditas strategis Indonesia, seperti tembaga, yang sangat penting untuk kebutuhan energi dan industri listrik di AS.

"Kalau kita lihat kepentingan AS, bukan hanya energi tapi juga akses ke mineral penting seperti tembaga. Apakah ini bagian dari kesepakatan, juga harus dikaji lebih jauh," katanya.

Nah, berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, ia meminta pemerintah transparan.

Pemerintah harus menjelaskan secara rinci mengenai kesepakatan yang mereka capai. Dalam kaitannya dengan impor energi Rp244 triliun, ia meminta pemerintah menjelaskan mekanisme impor energi tersebut.

Penjelasan menyangkut siapa yang akan mengimpor, impor akan dilakukan dalam bentuk kontrak jangka panjang atau pembelian di pasar spot.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak