Rocky Gerung dan Akbar Faizal Bicara soal Alasan Jokowi Mulai Ditinggalkan

R24/zura
Rocky Gerung dan Akbar Faizal Bicara soal Alasan Jokowi Mulai Ditinggalkan. (Tangkapan Layar YouTube @AkbarFaizalUncensored)
Rocky Gerung dan Akbar Faizal Bicara soal Alasan Jokowi Mulai Ditinggalkan. (Tangkapan Layar YouTube @AkbarFaizalUncensored)

RIAU24.COM Dua tokoh publik yang kerap mengisi ruang kritik politik nasional, Akbar Faizal dan Rocky Gerung, kembali bertemu dalam sebuah diskusi yang menyoroti menurunnya dukungan terhadap Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya.

Dalam percakapan bernada reflektif namun kritis, keduanya mengupas persoalan mendalam yang disebut sebagai pergeseran arah demokrasi Indonesia menuju praktik kekuasaan elitis dan dinasti politik.

Mantan anggota DPR, Akbar Faizal, yang pernah menjadi pendukung vokal Jokowi pada periode pertama, menyampaikan pernyataan terbuka bahwa ia telah menarik dukungannya. Ia mengakui bahwa harapan terhadap kepemimpinan Jokowi perlahan memudar karena apa yang ia sebut sebagai kegagalan menjawab tuntutan reformasi secara substansial.

“Saya tak lagi yakin dengan arah kepemimpinan beliau. Jika dulu saya membela, hari ini saya siap meminta maaf karena kenyataan berkata lain,” ujar Akbar.

Rocky Gerung, filsuf politik yang kerap mengkritik Jokowi secara terbuka, menambahkan bahwa kepemimpinan sang presiden sejak awal adalah bentuk dari eksperimen politik yang tidak ditopang kapasitas substansial.

“Jokowi adalah proyek politik under capacity. Ia tidak membangun argumen publik, hanya membangun pencitraan,” kata Rocky. “Sejak di Solo, ia sudah berada dalam orbit kekuasaan oligarki.”

Salah satu pokok kritik yang mencuat dalam diskusi tersebut adalah kemunculan Gibran Rakabuming Raka—putra Presiden Jokowi—dalam kontestasi politik nasional. Rocky menyebutnya sebagai representasi dari politik dinasti yang dibungkus dengan populisme artifisial.

“Kita menyaksikan populisme yang lahir dari pendangkalan media, bukan dari kekuatan rakyat,” tegas Rocky.

Akbar menilai keterlibatan Gibran dalam pilpres berpotensi menabrak etika demokrasi dan menimbulkan pertanyaan hukum, terutama terkait usia dan kematangan politik. Ia menyebut manuver ini sebagai bagian dari desain kekuasaan yang melenceng dari semangat reformasi.

Lebih lanjut, Rocky menilai bahwa tindakan-tindakan Jokowi pasca pilpres merupakan bagian dari mekanisme pertahanan diri terhadap “ancaman sejarah.” Menurutnya, Jokowi tidak takut dilupakan, melainkan takut jika publik terus mengingat kegagalannya.

“Ini semacam reverse psychology. Ia mencoba mendominasi bukan untuk mencetak warisan, tapi untuk menghapus jejak kesalahan,” ujarnya.

Akbar turut menyebut bahwa langkah Jokowi hari ini lebih bersifat kosmetik, menjaga citra di tengah ketidakpuasan publik, alih-alih memimpin secara solutif.

Diskusi kemudian bergeser ke sosok presiden terpilih, Prabowo Subianto. Akbar menyebut Prabowo memiliki momentum politik, namun hingga kini belum membangun "monumen kebijakan" yang menunjukkan arah pemerintahan ke depan.

Rocky menggarisbawahi dilema Prabowo yang masih terikat pada relasi personal dan politik dengan Jokowi, terutama dalam konteks Gibran. Menurutnya, jika Prabowo memilih untuk memproses secara hukum atau politik, maka era dinasti Jokowi akan selesai. Namun jika ia memilih diam, maka kepercayaan publik berisiko luntur.

“Ini ujian otentisitas. Prabowo tidak bisa terus memelihara loyalitas kepada kekuasaan lama tanpa kehilangan legitimasi baru,” kata Rocky.

Sebagai penutup, keduanya sepakat bahwa tantangan utama saat ini adalah bagaimana pemerintahan ke depan bisa menghidupkan kembali semangat demokrasi yang inklusif dan beretika. Mereka menyerukan kepemimpinan yang otentik—baik dalam visi, kebijakan, maupun moralitas politik.

“Jika Prabowo hanya melanjutkan pola lama, demokrasi akan kembali macet, dan ruang sipil makin menyempit,” pungkas Rocky.

Pertemuan antara Akbar Faizal dan Rocky Gerung bukan sekadar diskusi intelektual, melainkan sinyal penting dari kegelisahan publik terhadap arah demokrasi Indonesia. Ketika politik berubah dari arena rakyat menjadi lingkaran keluarga, pertanyaan besar kini ditujukan kepada pemimpin baru: akankah Prabowo mengulangi pola, atau menempuh jalan baru?

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak