RIAU24.COM -Pengamat politik Rocky Gerung melontarkan kritik keras terhadap kondisi hukum dan ekonomi Indonesia.
Dalam sebuah wawancara eksklusif di kanal DSTV, Rocky menyebut sistem hukum Indonesia telah berubah menjadi “black market of justice”—pasar gelap keadilan—di mana proses hukum hanya menjadi alat tukar-menukar kepentingan politik.
“Kehidupan keadilan kita bukan untuk mencari keadilan, tapi untuk dagang keadilan. Sebut saja pasar gelap keadilan,” kata Rocky.
“Presiden memang tidak boleh intervensi sistem yudikatif, tapi dia bisa kasih sinyal apa itu keadilan.”
Pernyataan itu mengacu pada dugaan manipulasi hukum terhadap tokoh-tokoh politik, seperti Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, yang menurut Rocky hanyalah bagian dari pertarungan elite dalam memeras dan menukar kekuasaan.
Kritik tersebut tidak berdiri sendiri. Rocky melanjutkan dengan analisis lebih dalam soal kondisi sosial ekonomi yang menurutnya jauh lebih genting.
Kelas Menengah Terlempar, Ekonomi Masuk “Survival Mode”
Rocky menyoroti semakin menyusutnya kelas menengah sebagai penanda krisis struktural ekonomi. Ia menyebut bahwa mayoritas masyarakat Indonesia kini masuk dalam survival mode, bergantung pada usaha informal dan pekerjaan harian sebagai pelarian dari deindustrialisasi.
“Dulu kelas menengah itu 43%, sekarang tinggal 18%. Lebih dari 9 juta orang terlempar. Itu artinya, daya beli hancur. Mereka bahkan tak bisa lagi dipajaki. Ini bukan ekonomi, ini bertahan hidup,” ujar Rocky.
Data yang dirilis Antara dan Financial Times menguatkan pernyataan tersebut. Jumlah kelas menengah di Indonesia menurun drastis dari sekitar 57 juta jiwa pada 2019 menjadi 47 juta jiwa pada 2024.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pekerja di sektor informal meningkat dari 57% ke 59% dalam lima tahun terakhir.
“Kita melihat makin banyak warung kecil dan pedagang kaki lima. Pemerintah menyebut itu UMKM sukses. Padahal itu tanda bahwa sektor formal sudah tak mampu menyerap tenaga kerja,” kata Rocky.
Data Disembunyikan Demi Citra, Investor Kebingungan
Lebih jauh, Rocky menyinggung sikap pemerintah yang enggan membuka data pengangguran. Ia menyoroti pernyataan Menteri Ketenagakerjaan yang tidak ingin mempublikasikan angka pengangguran karena alasan “membuat publik pesimis”.
“Kalau data disembunyikan, bagaimana publik bisa tahu apa yang harus diperbaiki? Ini data kuantitatif, bukan narasi politik,” ujarnya tajam. “Investor pun akan mundur kalau data tidak transparan.”
Menurutnya, pemerintahan saat ini terlalu sibuk mengelola angka, bukan manusia. Target pertumbuhan ekonomi 7 hingga 8 persen, seperti yang dijanjikan Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto, dinilai Rocky sebagai ilusi belaka dalam situasi global yang sedang tidak stabil.
Reshuffle Kabinet atau Krisis Legitimasi
Rocky menggarisbawahi pentingnya tindakan radikal dari Presiden Prabowo begitu ia menjabat penuh. Ia menyebut reshuffle kabinet sebagai langkah minimal, jika Prabowo tidak ingin kehilangan momentum dan kepercayaan rakyat.
“Kalau tidak ada keputusan tegas, Prabowo akan kehilangan momentum. Trust itu muncul dari keberanian, bukan kompromi,” ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa kompromi elite dengan faksi kekuasaan lama akan melanggengkan praktik tukar tambah jabatan, termasuk di BUMN yang kini disebut hanya diisi oleh para “komisaris buta huruf terhadap kebijakan publik”.
Ancaman Agraria dan Meledaknya Ketidakadilan Sosial
Selain hukum dan ekonomi, Rocky mengkritik konsolidasi lahan oleh perusahaan negara seperti Agrinas yang menurutnya rawan memicu konflik sosial. Ia merujuk pada kasus Tesso Nilo dan dugaan relasi gelap antara negara, korporasi, dan elite lokal yang merampas ruang hidup rakyat.
“Tanah habis, orang bertambah. Rakyat digusur, hasil bumi dikonsesi. Kalau dibiarkan, ini jadi sumbu ledak konflik horizontal,” ujar Rocky.
Gibran dan Papua: Manuver Politik atau Pembuangan Halus?
Menutup pernyataannya, Rocky menyinggung isu penempatan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka untuk “berkantor di Papua”. Ia menyindir bahwa keputusan tersebut bisa saja dibaca sebagai “magang geopolitik” yang beraroma pembuangan politik.
“Kalau memang serius, biar saja Gibran tinggal di Papua sampai 2029. Kalau mau jadi RI2, ya sekalian saja bangun IKN Kedua di Fakfak,” kata Rocky dengan nada satir.
Rocky mengakhiri kritiknya dengan menyatakan bahwa negara harus berhenti bersolek dengan angka dan mulai melihat kenyataan sosial.
“Negara ini seperti sibuk menata dashboard mobil, padahal bensinnya habis. Kalau terus seperti ini, rakyat akan mencari keadilan di jalanan. Dan ketika suara emak-emak sudah menggema karena dapur kosong, maka elite pun tak bisa lagi sembunyi,” pungkasnya.
(***)