DPR Tolak Gugatan Sipil soal UU TNI, Rocky Gerung: Demokrasi Kita Rusak dari Dalam

R24/zura
DPR Tolak Gugatan Sipil soal UU TNI, Rocky Gerung: Demokrasi Kita Rusak dari Dalam.
DPR Tolak Gugatan Sipil soal UU TNI, Rocky Gerung: Demokrasi Kita Rusak dari Dalam.

RIAU24.COM - Pernyataan mengejutkan datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan perwakilan pemerintah dalam sidang Mahkamah Konstitusi yang membahas gugatan atas Undang-Undang TNI. 

Mereka menilai bahwa masyarakat sipil yang mengajukan judicial review tidak memiliki legal standing. Bagi publik, sikap ini bukan hanya mencederai akal sehat, tapi juga mencerminkan pelupaan kolektif terhadap akar historis institusi militer itu sendiri.

"Ini sungguh membuat geleng-geleng kepala," tegas Rocky Gerung, pengamat politik, filsuf publik, dan salah satu figur sipil paling vokal di ranah demokrasi Indonesia. "Bagaimana mungkin DPR mempertanyakan hak rakyat untuk menggugat sesuatu yang berdampak langsung pada sistem politik dan masa depan demokrasi itu sendiri?"

Rocky tidak berbicara dalam ruang kosong. Ia menempatkan argumennya dalam kerangka historis yang panjang dan prinsip etik konstitusional yang dalam. 

"TNI bukan entitas eksklusif. TNI adalah tentara rakyat. Dulu kita mengenal TKR, BKR, dan laskar-laskar yang dibentuk rakyat, untuk memperjuangkan kemerdekaan. Maka sangat keliru jika rakyat kini dianggap tidak berhak menilai arah reformasi militer hari ini."

UU TNI dan Kecemasan Sejarah yang Belum Selesai

Revisi Undang-Undang TNI yang telah disahkan, memuat ketentuan yang membuka kembali pintu bagi militer aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Hal ini menimbulkan keresahan yang sangat wajar. 

Bukan hanya karena mengaburkan batas sipil dan militer, tapi juga karena mengulang trauma lama Orde Baru—ketika militer bercokol di segala lini kehidupan publik.

“Masalah kita bukan sekadar tentang siapa yang memimpin, sipil atau militer,” lanjut Rocky. “Masalah kita adalah apakah nilai-nilai sipil masih menjadi kompas utama dalam tata kelola demokrasi.”

Rocky menekankan bahwa yang dimaksud dengan civilian supremacy bukan dominasi orang sipil atas militer, tetapi supremacy of civilian values—nilai keterbukaan, deliberasi, checks and balances, dan pertanggungjawaban publik. Nilai-nilai ini tidak kompatibel dengan prinsip dasar militer: efisiensi komando tanpa ruang perdebatan.

“Demokrasi tidak lahir dari sistem komando. Demokrasi tumbuh dari konflik ide, dari diskusi yang keras, dari kritik yang terbuka. Maka ketika militer mulai masuk ke wilayah sipil, pertanyaan etik dan historis harus dikedepankan: untuk siapa sebenarnya undang-undang ini dibuat?”

Menggugat Bukan Mencurigai: Menghidupkan Demokrasi

Gugatan masyarakat sipil terhadap UU TNI bukanlah bentuk permusuhan terhadap institusi militer, melainkan usaha untuk menghidupkan ruang deliberatif dalam masyarakat demokratis. Dalam konstitusi, hak menggugat adalah bagian dari kontrol rakyat terhadap negara. Di sinilah konsep meaningful participation—partisipasi yang bermakna—harus ditegakkan.

Rocky mengingatkan, setiap produk hukum yang berdampak pada kehidupan demokrasi harus melalui proses partisipatif yang sahih. Bukan hanya konsultasi formalitas, tetapi percakapan serius dengan masyarakat, akademisi, pegiat HAM, dan kelompok sipil. 

“Kalau regulasi ini dibentuk dalam ruang tertutup dan elitistik, jangan salahkan rakyat jika kemudian menggugatnya,” tegasnya.

Lebih jauh, Rocky memperingatkan bahwa sikap defensif DPR yang mempertanyakan legal standing justru menyalakan alarm. “Ketika suara rakyat dianggap tak sah, maka yang lahir adalah otoritarianisme dalam kemasan prosedural.”

Prabowo, Militer, dan Misi Demokrasi Baru

Sebagai Presiden terpilih yang berasal dari latar belakang militer, Prabowo Subianto tentu memahami dinamika internal antara loyalitas korps dan komitmen sipil. Rocky menyebut, ini momentum bagi Prabowo untuk memperlihatkan bahwa era baru yang dipimpinnya adalah era demokrasi yang matang—bukan regresi politik sipil-militer.

“Prabowo tahu bagaimana hidup dalam sistem militer. Tapi sekarang dia ada di atas sistem demokrasi. Maka justru dari dia kita mengharapkan keteladanan: bahwa kekuasaan sipil harus menjaga jarak dari instrumen kekuatan militer,” katanya.

Namun, jika pemerintah bersikukuh menghidupkan kembali pola-pola lama—menggunakan militer untuk mengisi jabatan sipil dengan alasan efisiensi—maka yang sedang dibangun bukanlah negara demokrasi, melainkan negara yang meluncur ke arah pretorianism, di mana militer menjadi pengatur kehidupan sipil.

Menghindari Negara Pretorian: Pelajaran dari Sejarah dan Dunia

Rocky mengingatkan bahwa sejarah Indonesia dan pengalaman global menunjukkan kecenderungan how democracy dies—matinya demokrasi bukan lewat kudeta, tapi lewat pelemahan nilai-nilai sipil secara sistemik. Salah satu indikatornya: kembalinya militer ke ranah sipil melalui justifikasi hukum.

Ia menyebut, ini bukan soal teknokrasi, tetapi soal arah bangsa. “Kita tidak sedang bicara soal siapa lebih profesional, tentara atau sipil. Kita sedang bicara soal nilai. Tentara boleh profesional, tetapi ketika masuk ke ruang politik sipil, yang dibutuhkan adalah kesadaran etik dan sejarah. Bukan sekadar kemampuan teknis.”

Pesan untuk DPR dan Pemerintah: Jangan Reduksi Demokrasi jadi Formulir

Menanggapi argumen pemerintah bahwa masyarakat sipil tidak punya legal standing, Rocky menyebut itu sebagai upaya mereduksi demokrasi hanya pada aspek prosedural. 

“Legal standing itu bukan hanya soal formulir gugatan. Ini soal siapa yang terdampak oleh undang-undang itu. Kalau rakyat tak dianggap terdampak, DPR sedang mengkhianati mandatnya sendiri.”

Menurutnya, jika negara ingin undang-undang diterima luas dan tidak digugat terus-menerus, maka proses penyusunannya harus inklusif dan partisipatif. “Semua regulasi harus dilahirkan dari ruang publik, bukan ruang gelap kekuasaan.”

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak