Tiongkok Hadapi Deflasi yang Semakin Dalam Seiring Harga Konsumen Turun Selama 3 Bulan

R24/tya
Warga Tiongkok sedang berbelanja /Reuters
Warga Tiongkok sedang berbelanja /Reuters

RIAU24.COM Ekonomi Tiongkok menunjukkan tanda-tanda baru tekanan deflasi.

Menurut data dari Biro Statistik Nasional, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters, harga konsumen turun selama tiga bulan berturut-turut pada bulan April.

Hal ini menyoroti meningkatnya ketidakpastian ekonomi seiring meningkatnya perang dagang AS-Tiongkok.

Indeks Harga Konsumen (IHK) turun 0,1 persen tahun ke tahun, mencerminkan penurunan pada bulan Maret dan sejalan dengan perkiraan para ekonom.

Secara bulanan, IHK naik tipis sebesar 0,1 persen, membalikkan penurunan 0,4 persen pada bulan sebelumnya.

Sementara itu, Indeks Harga Produsen (IHP), yang melacak biaya barang di pabrik, turun 2,7 persen tahun ke tahun, lebih dalam dari penurunan 2,5 persen pada bulan Maret.

Penurunan harga yang terus berlanjut menandakan lemahnya permintaan domestik dan menambah kekhawatiran bahwa ekonomi terbesar kedua di dunia itu semakin terjerumus ke dalam deflasi.

Kerapuhan ekonomi Tiongkok ini terjadi pada saat Beijing menghadapi meningkatnya ketegangan perdagangan dengan Washington.

Pembicaraan dagang AS-Tiongkok dilanjutkan di tengah ancaman tarif baru

Pada tanggal 9 Mei 2025, sehari sebelum pertemuan puncak Jenewa, Presiden AS Donald Trump menegaskan kembali komitmen pemerintahannya untuk mempertahankan tarif dasar 10 persen untuk impor, bahkan setelah kesepakatan perdagangan diselesaikan.

Ia juga menyarankan kemungkinan untuk menaikkan tarif barang-barang Tiongkok hingga 80 persen, penurunan dari tarif 145 persen yang sebelumnya diberlakukan.

Pernyataan-pernyataan ini menjadi dasar pembicaraan perdagangan berisiko tinggi yang dijadwalkan pada tanggal 10 Mei di Jenewa antara Menteri Keuangan AS Scott Bessent, Kepala Negosiator Perdagangan Jamieson Greer, dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok He Lifeng.

Diskusi tersebut menandai keterlibatan formal pertama antara kedua negara sejak meningkatnya perang tarif awal tahun ini.

Latar belakang pembicaraan ini adalah serangkaian tindakan perdagangan yang meningkat.

Pada bulan April 2025, Presiden Trump mengenakan tarif sebesar 145 persen pada impor Tiongkok, dengan alasan kekhawatiran atas ketidakseimbangan perdagangan dan keamanan nasional.

Tiongkok dengan cepat membalas dengan tarif sebesar 125 persen pada barang-barang AS, yang menyebabkan penurunan signifikan dalam perdagangan bilateral.

Meskipun ada ketegangan, kedua negara telah menyatakan keinginan yang hati-hati untuk kembali ke meja perundingan, dengan Tiongkok menekankan perlunya konsultasi yang setara dan saling menghormati dalam menyelesaikan sengketa perdagangan.

Dampak Perang Dagang terhadap Tiongkok

Ketegangan perdagangan yang sedang berlangsung telah memberikan dampak nyata pada ekonomi Tiongkok.

Sektor jasa, yang merupakan bagian penting dari PDB negara tersebut, menunjukkan tanda-tanda perlambatan.

Menurut laporan Reuters yang diterbitkan pada tanggal 7 Mei, Indeks Manajer Pembelian (PMI) Jasa Global Caixin/S&P Tiongkok merosot ke angka 50,7 pada bulan April dari 51,9 pada bulan Maret, sementara PMI jasa resmi turun ke angka 50,1, tepat di atas garis kontraksi.

Sementara itu, ekspor ke AS turun tajam, turun 17,6 persen bulan ke bulan dari $40,1 miliar pada bulan Maret menjadi $33,0 miliar pada bulan April, menandai level terendah dalam lima tahun.

Sebagai tanggapan, Bank Rakyat Tiongkok (PBOC) mengumumkan serangkaian langkah pelonggaran moneter dengan memangkas suku bunga repo terbalik tujuh hari sebesar 10 basis poin menjadi 1,40 persen dan menurunkan rasio persyaratan cadangan sebesar 50 basis poin, yang diharapkan dapat menyuntikkan sekitar 1 triliun yuan ($138 miliar) ke dalam perekonomian.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak