RIAU24.COM - Siapa sangka kebiasaan iseng yang sering dianggap sepele, seperti ngupil, ternyata bisa berdampak serius bagi kesehatan otak?
Sebuah studi menemukan hubungan antara kebiasaan ngupil dan peningkatan risiko demensia. Demensia adalah gangguan fungsi otak yang memicu penurunan kemampuan berpikir dan mengingat, salah satu contohnya seperti alzheimer.
Mengupil disebut dapat memicu kerusakan jaringan dalam hidung yang membuat spesies bakteri tertentu memiliki jalur lebih mudah untuk menginfeksi otak.
Otak kemudian merespons keberadaan bakteri tersebut dengan cara menyerupai tanda penyakit alzheimer.
Baca Juga: Inilah Manfaat Minum Air Jahe saat Perut Kosong di Pagi Hari yang Jarang Diketahui
Penelitian dilakukan oleh ilmuwan Griffith University Australia menggunakan bakteri Chlamydia pneumoniae, yang umumnya dapat memicu pneumonia pada manusia, pada tikus uji coba. Bakteri ini juga ditemukan pada sebagian besar otak manusia yang memiliki demensia.
Hasilnya menunjukkan bakteri dapat bergerak melalui saraf penciuman yang menghubungkan rongga hidung dengan otak.
Tak hanya itu, kerusakan pada epitel hidung (lapisan rongga hidung) juga membuat infeksi pada saraf menjadi lebih parah.
Tikus akhirnya menghasilkan lebih banyak protein amyloid-beta, protein yang dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi. Plak protein ini juga ditemukan dalam jumlah besar pada otak manusia pengidap alzheimer.
"Kami adalah yang pertama menunjukkan bahwa Chlamydia pneumoniae dapat langsung masuk melalui hidung ke otak dan memicu patologi yang mirip penyakit Alzheimer," kata ahli saraf Griffith University, James St John, dikutip dari Science Alert, Senin (11/8).
"Kami melihat hal ini terjadi pada model tikus, dan buktinya berpotensi menakutkan bagi manusia juga," sambungnya.
Dalam waktu 24-72 jam, bakteri Chlamydia pneumoniae sudah menguasai sistem saraf pusat tikus. Diperkirakan hidung bisa menjadi jalur tercepat bagi virus dan bakteri untuk menuju otak.
Baca Juga: Tahukah Anda, Inilah yang Terjadi pada Tubuh Jika Sarapan Pisang Setiap Hari
Meskipun belum pasti efeknya sama pada manusia, mereka beranggapan temuan ini disebut harus diteliti lebih lanjut untuk mengetahui risikonya pada manusia.
"Kita perlu melakukan studi ini pada manusia dan memastikan apakah jalurnya bekerja dengan cara yang sama," kata John.
"Ini adalah penelitian yang telah diusulkan banyak orang, tetapi belum pernah dilakukan. Yang kita ketahui adalah bakteri ini juga ada pada manusia, namun kita belum tahu bagaimana cara mereka sampai ke sana," tandasnya.