“Harapannya, setelah dengan bukti yang diajukan sekarang ini, proses bisa ditingkatkan ke penyidikan dan ditemukan nanti tersangkanya,” ujar Rizal di Bareskrim Polri, Senin (14/7).
Menurut Rizal, salah satu bukti yang diserahkan adalah cuplikan video podcast Topi Merah yang menampilkan ahli hukum tata negara Refly Harun di kanal RH Channel. Dalam video itu disebutkan analisis digital atas foto-foto dokumen menggunakan metode Error Level Analysis (ELA), Luminance Gradient Analysis, dan Face Comparison menunjukkan hasil “tidak identik”.
Selain itu, TPUA juga menyerahkan video lain dari kanal Forum Keadilan TV dalam program Madilog, yang menampilkan mantan intelijen BIN Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra. Dalam video tersebut, disebutkan adanya dugaan praktik pemalsuan dokumen di kawasan Pasar Pramuka Pojok, yang diduga menjadi lokasi pembuatan ijazah palsu Jokowi.
“Dugaan ijazah palsu yang dibuat di Pasar Pramuka harus menjadi perhatian serius pihak kepolisian untuk penyelidikan lanjutan,” tegas Rizal.
Tak hanya itu, TPUA turut menyertakan rekaman dari kanal QNC Opposite Channel yang memuat dugaan nama-nama anggota “tim inti” pembuat ijazah palsu. Nama-nama yang disebut di antaranya berinisial DAY, AN, MI, W, ES, SW, dan PR.
“Nama-nama ini sudah disebut sebagai petunjuk. Kami minta Bareskrim meneliti dan menyelidiki secara serius,” lanjut Rizal.
Ia juga menyoroti perbedaan penanganan antara laporan di Polda Metro Jaya dan Bareskrim. Rizal menilai kasus yang dilaporkan TPUA ke Bareskrim justru memiliki bukti yang lebih kuat, namun belum mengalami peningkatan status.
“Jangan hanya karena di Polda Metro Jaya buktinya sederhana, tapi cepat naik ke penyidikan. Sementara di Bareskrim, yang kami anggap kuat, malah tidak ada progres,” katanya.
Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Bareskrim Polri terkait permintaan TPUA tersebut. Pihak kepolisian juga belum mengonfirmasi keabsahan bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan itu.
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi telah memicu kontroversi di ruang publik sejak pertama kali mencuat beberapa tahun lalu. Meski sejumlah pihak menganggap isu tersebut tidak berdasar, kelompok-kelompok seperti TPUA terus mendorong agar kasus ini dibuka secara hukum.
(***)