RIAU24.COM -Hubungan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka tampaknya tak seharmonis kala kampanye.
Kini, hanya sebulan setelah Pemilu 2024, narasi pemakzulan terhadap Gibran justru menggema, didorong oleh suara lantang dari para purnawirawan TNI dan tekanan publik yang mulai mempertanyakan kapasitasnya sebagai wakil kepala negara.
Namun Presiden Prabowo, sejauh ini, tetap diam. Antara sikap negarawan atau kalkulasi politik?
“Gibran dari awal memang bukan bagian dari desain kekuasaan Prabowo. Dia diselipkan oleh Jokowi,” kata Rocky Gerung dalam diskusi bersama Hersubeno Arief.
Menurut Rocky, relasi antara Prabowo dan Gibran adalah relasi politik artifisial—diresmikan oleh demokrasi elektoral, tetapi kosong dalam koherensi visi dan misi.
Gibran bukan tandem politik alami bagi Prabowo, melainkan instrumen politik Jokowi yang terlanjur dimasukkan ke dalam ruang eksekutif.
Rocky menyebut bahwa dalam sistem presidensial Indonesia, wakil presiden adalah “banserep”—ban serep—yang tidak bisa menjalankan kebijakan sendiri tanpa mandat dari presiden.
“Kalau Gibran tahu posisinya sebagai pembantu presiden, dia tidak akan cari sensasi atau tampil dominan di kamera,” kritiknya tajam.
Namun yang terjadi sebaliknya: Gibran terlihat aktif, bahkan menginisiasi laporan-laporan dari inspektorat jenderal kementerian langsung kepada dirinya—langkah yang menurut Rocky mencerminkan ambisi politik dini, bukan kerja teknokratis.
Di sisi lain, ketegangan itu tak hanya menjadi isyarat retaknya relasi personal, tetapi juga memunculkan “jarak psikologis” antara Prabowo dan Gibran.
Bukan sekadar soal perbedaan usia atau latar belakang, tapi juga perbedaan karakter, pengetahuan, dan integritas politik.
“Publik melihat bahwa Gibran tampil tetapi tidak berisi. Dia terlalu senang disorot kamera, tapi tak menunjukkan substansi,” ujar Rocky.
Pernyataan Rocky tidak berdiri sendiri. Gelombang kritik datang dari kelompok purnawirawan TNI yang mulai menyerukan pemakzulan Gibran.
Alasannya bukan sekadar soal ketidakmampuan, tetapi juga karena proses politik yang membawanya ke kursi wakil presiden dianggap hasil dari manipulasi konstitusi—implikasi dari Putusan MK yang saat itu dipimpin Anwar Usman, paman Gibran sendiri.
Namun, Prabowo, sebagaimana dikatakan Rocky, tetap mengambil sikap sopan. Ia tidak menunjukkan keberpihakan pada upaya pemakzulan, tetapi juga tidak memberikan pembelaan kuat bagi Gibran.
“Sikap Prabowo ini bukan karena tak tahu, tapi karena dia paham kalau bersuara, itu bisa menjadi blunder politik,” ujar Rocky.
Prabowo justru menyampaikan posisinya melalui utusannya—Safri Samsuddin, Menteri Pertahanan sekaligus penasihat politiknya—yang mengatakan bahwa aspirasi purnawirawan akan dipelajari dan dievaluasi secara bijak.
Ini berbanding terbalik dengan Jokowi, yang dalam berbagai isu tak ragu menanggapi langsung, bahkan melawan balik. Dalam kasus ijazah palsu, misalnya, Jokowi bersikap defensif dan menyerang balik dengan dalil moral dan hukum. Tapi untuk kasus Gibran, Jokowi memilih irit bicara—namun publik tahu, ia tetap menjadi aktor utama di balik panggung.
Rocky menyebut bahwa sikap netral Prabowo adalah strategi menjaga legitimasi. Ia tak mungkin secara terbuka mengatakan bahwa wakil presidennya "kurang bermutu". Tapi ia juga menyadari bahwa suara publik, termasuk purnawirawan, sudah mulai keras: Gibran dianggap beban, bukan aset politik.
“Itu suara yang sayup-sayup tapi Prabowo pasti dengar. Dan kini sudah keras dan jelas: Gibran diminta dimakzulkan,” ujarnya.
Di tengah wacana pemakzulan itu, kekuatan politik Jokowi masih diperhitungkan. Ia punya modal politik dan finansial untuk mencegah proses ini bergulir di DPR. Meski parlemen dikuasai oleh koalisi pendukung Prabowo-Gibran, bukan berarti Gibran aman.
“Yang didukung itu Prabowo, bukan Gibran,” tandas Rocky.
PDIP yang kini berada di luar pemerintahan pun bisa sewaktu-waktu memainkan kartu oposisi mereka. Bagi partai banteng, Gibran bukan sekutu; ia adalah anak pengkhianat politik.
Pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), tangan kanan Jokowi, bahkan menyebut para purnawirawan yang mengusulkan pemakzulan Gibran sebagai “kampungan” dan tidak paham konstitusi. Ini memperlihatkan betapa sensitifnya isu ini di lingkaran Jokowi.
Namun menurut Rocky, setiap warga negara, termasuk purnawirawan, punya hak politik untuk menyampaikan sikap—sama seperti para loyalis Jokowi yang membela mati-matian ketika sang presiden digugat soal moralitas dan keabsahan ijazah.
Bagi Rocky, pemakzulan Gibran bisa menjadi wacana permanen selama tiga tahun ke depan—menjelang Pilpres 2029. Jika keadaan darurat muncul, atau bila eskalasi konflik regional seperti ketegangan India-Pakistan menjalar ke Asia Tenggara, publik akan semakin menyoroti apakah Gibran punya kapasitas kepemimpinan krisis. Dan dalam konteks ini, para purnawirawan merasa perlu memperingatkan.
“Mereka ingin menyelamatkan sistem. Mereka tidak ingin negara dipimpin oleh hasil manipulasi konstitusi,” katanya.
(zar)