Rocky Gerung Soroti Gugatan Ijazah Jokowi dan Desakan Pemakzulan Gibran

R24/zura
Rocky Gerung Soroti Gugatan Ijazah Jokowi dan Desakan Pemakzulan Gibran. (Tangkapan Layar YouTube @RockyGerungOfficial)
Rocky Gerung Soroti Gugatan Ijazah Jokowi dan Desakan Pemakzulan Gibran. (Tangkapan Layar YouTube @RockyGerungOfficial)

RIAU24.COM -Presiden Joko Widodo mungkin telah mengakhiri masa jabatannya secara resmi, namun pusaran politik yang mengepungnya justru kian membesar. 

Bukan dari rival politik dalam sistem, melainkan dari suara publik yang mengusung gugatan moral. Pengamat politik Rocky Gerung menyebut situasi ini sebagai “titik balik sejarah politik Indonesia”, di mana kekuasaan moral kini mengambil alih setelah kekuasaan konstitusional berakhir.

“Setelah Jokowi tak punya kuasa konstitusional, ia terpaksa menghadapi kuasa moral. Dan moral publik itu tidak bisa dilompati oleh siapapun, bahkan oleh presiden sekalipun,” ujar Rocky dalam sebuah diskusi publik yang kini viral di media sosial.

Kritik terhadap Jokowi muncul dari berbagai penjuru: masyarakat sipil, akademisi, hingga purnawirawan TNI. 

Menurut Rocky, inilah momen di mana “kebohongan yang dulu dijaga oleh protokol kekuasaan kini terbuka karena tidak ada lagi pagar institusional yang melindungi.”

Isu sentral yang disorot dalam pernyataan Rocky adalah pengangkatan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Ia menyebut Gibran sebagai simbol nepotisme yang dilegitimasi oleh Mahkamah Konstitusi—lembaga yang saat itu diketuai oleh paman Gibran sendiri.

“Gibran adalah dosa bawaan politik dari Jokowi. Ia adalah simbol dari nepotisme yang dilegalkan,” tegas Rocky.

Kini, tekanan terhadap posisi Gibran tak lagi datang dari kelompok oposisi, melainkan dari mantan-mantan jenderal yang pernah menjadi bagian dari inti negara. 

Petisi pemakzulan yang dipelopori oleh Letjen (Purn) Suharto dan didukung oleh Wakil Presiden ke-6 RI, Try Sutrisno, menjadi indikator kuat bahwa kredibilitas Gibran mulai digugat bahkan sebelum pelantikannya.

“Mereka bukan sekadar marah. Mereka membaca kegelisahan rakyat,” kata Rocky. “Dan mereka tahu, negara ini tidak dibangun di atas keakraban keluarga.”

Lebih jauh, Rocky menyebut masa pemerintahan Jokowi sebagai era “pragmatisme dan oportunisme yang dilembagakan”, di mana kebohongan tidak lagi dianggap sebagai kesalahan komunikatif, melainkan sebagai bagian dari sistem kekuasaan.

“Kalau dulu kita bilang kebohongan itu tak sengaja, sekarang kita sadar, itu direkayasa. Ini bukan kebohongan personal, tapi sistemik,” katanya.

Di tengah tekanan tersebut, isu lama kembali mencuat: dugaan ijazah palsu Jokowi yang dulu dianggap hoaks kini diproses sebagai gugatan hukum resmi. 

Namun Jokowi memilih langkah ofensif dengan melaporkan balik pihak penggugat. Bagi Rocky, ini adalah bentuk pembalikan logika demokrasi.

“Seharusnya yang ditanya adalah dia yang berkuasa. Tapi ini justru rakyat yang ditanya balik,” sindir Rocky. “Demokrasi sedang dikacaukan oleh paranoia kekuasaan.”

Langkah kontroversial lainnya yang disorot Rocky adalah mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo, menantu Try Sutrisno, yang dilakukan hanya dua hari sebelum pelantikan presiden baru. Rocky menyebut tindakan itu sebagai bentuk intervensi politik terhadap institusi TNI.

“Jokowi merusak prinsip meritokrasi di tubuh TNI. Ia ingin memastikan tidak ada hambatan bagi dinasti politiknya, bahkan sampai ke barak militer,” ujar Rocky.

Rocky juga memperingatkan bahwa gelombang perlawanan moral ini tidak berhenti pada isu ijazah atau posisi Gibran. Ia menyebut akan muncul desakan publik untuk mengusut lebih dalam, mulai dari dugaan gratifikasi hingga skandal keluarga.

“Ini akan masuk ke wilayah yang lebih dalam: dugaan gratifikasi, skandal keluarga, dan dokumen rahasia yang selama ini disembunyikan,” ungkapnya.

Ia bahkan menyebut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang dulu menaungi Jokowi, menyimpan dokumen sensitif terkait hubungan luar negeri dan transaksi kekuasaan.

“Kalau konflik politik memuncak, dokumen itu bisa menjadi bom waktu,” tambah Rocky.

Bagi Rocky Gerung, pengadilan sesungguhnya bukan terjadi di ruang-ruang hukum, tapi di hati dan nurani publik.

“Jokowi mungkin bisa menang di pengadilan, tapi dia sudah kalah di pengadilan moral rakyat. Dan itu jauh lebih menghancurkan,” katanya.

“Tembok moral itu tidak bisa dilompati. Ia tidak bisa dibobol dengan pengacara, tidak bisa dibeli dengan opini publik palsu. Ia dibangun dari sejarah bangsa ini sendiri.”

Apa yang digambarkan Rocky adalah lebih dari sekadar kritik terhadap figur mantan presiden. Ini adalah pembacaan ulang terhadap satu dekade kekuasaan yang kini diminta pertanggungjawaban—tanpa perlindungan kekuasaan di belakangnya.
  
(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak