Rocky Gerung Nilai Gibran Gagal Tunjukkan Kapasitas Sebagai Wakil Presiden

R24/zura
Rocky Gerung Nilai Gibran Gagal Tunjukkan Kapasitas Sebagai Wakil Presiden.
Rocky Gerung Nilai Gibran Gagal Tunjukkan Kapasitas Sebagai Wakil Presiden.

RIAU24.COM -Isu soal pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat.

Pengamat politik Rocky Gerung menyebut, dalam kondisi global yang tengah berada di ambang ketegangan geopolitik dan perang ekonomi, kemampuan seorang wakil presiden seharusnya jadi sorotan utama. 

Sayangnya, menurut Rocky, Gibran justru menunjukkan indikasi ketidakmampuan mengemban tanggung jawab besar itu. 

Dalam diskusi bersama jurnalis senior Harsubeno Arief di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rocky menyoroti kemungkinan pemakzulan Gibran yang semakin santer dibicarakan. 

Hal ini, menurutnya, bukan sekadar manuver politik, melainkan respons atas kondisi global yang menuntut pemimpin dengan kapasitas mumpuni. 

"Ya, dalam kompleksitas isu dunia ini, masuk lagi isu kelihatannya tidak akan pernah tenggelam, yaitu isu kondisi, kapasitas dan kedudukan legitimasi dari wakil presiden, yang dipersoalkan terus, dan pada akhirnya dipersoalkan oleh semua kalangan," kata Rocky. 

Dia menyebut Gibran gagal menunjukkan kapasitas sebagai wakil presiden. Ia bahkan menilai Gibran lebih ingin menonjolkan diri dibandingkan menunjukkan kemampuan. "Karena makin terlihat, bahwa Pak Gibran ini semakin ingin menonjolkan diri, bukan lagi menunjukkan diri, gagal terus," lanjut Rocky. 

Rocky menyoroti latar belakang politik Gibran yang menurutnya dipaksakan. Ia menyebut, keputusan Presiden Joko Widodo menyodorkan anaknya terlalu dini ke panggung politik sebagai bentuk “salah asuh”. 

"Jadi memang ada kapasitas yang tidak cukup, jadi salah asuh dari awal oleh ayahnya yang dengan cepat-cepat menyodorkan Gibran ke wilayah politik. Padahal ia sebetulnya masih sangat belia untuk memahami rumitnya dan kompleksiti dari dunia politik," jelasnya. 

Menurut Rocky, tantangan geopolitik global saat ini menuntut peran aktif seorang wakil presiden dalam menyusun konsep kebijakan. Namun ia menilai Gibran tidak mampu mengemban peran itu. 

"Nah sekarang dia diuji justru dalam sistem global yang menghendaki wakil presiden itu terlibat aktif menyusun konsep, dan itu tidak mungkin dilakukan oleh Pak Gibran," katanya. 

Rocky menyayangkan tim di sekitar Gibran yang dinilainya justru mendorong Gibran tampil sebagai figur yang ingin diingat publik sebagai wakil presiden, alih-alih mempersiapkan substansi peran. 

"Nah, sebaliknya, Pak Gibran kelihatannya oleh timnya diarahkan untuk mengambil momen untuk mengingatkan bahwa dia adalah wakil presiden. Padahal orang tahu memang dia wakil presiden," kata Rocky. 

Rocky menegaskan bahwa dalam situasi global yang rawan, khususnya terkait perang tarif saat ini, kebutuhan akan pemimpin berkualitas sangat penting. Menurutnya, Gibran tidak memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk membaca potensi konflik internasional dan regional. 

"Dari segi konsep Pak Gibran tidak mampu di situ tuh. Ini tim wapres nggak ngerti bahwa dunia sedang berubah dan semua orang menghendaki adanya kecerdasan keluar dari otak dari isi kepala wakil presiden, isi kepala para menteri, untuk supaya Indonesia bersiap menghadapi potensi tertinggi atau potensi ultimate solution atau sesuatu yang kita anggap, kalau perdagangan berhenti, maka semua negara akan mencari aman," jelas Rocky. 

Dalam situasi krisis, menurut Rocky, potensi instabilitas politik bisa menjadi pintu masuk pada konflik yang lebih besar. 

"Dalam upaya mencari aman itu akan ada krisis politik. Nah, krisis politik itu harus diselesaikan lewat apa? Ya, lewat pertarungan militer atau pertarungan perang pada akhirnya kan," ujarnya. 

Rocky menyatakan bahwa pembicaraan soal pemakzulan Gibran sebenarnya tidak melanggar konstitusi. Bahkan menurutnya, jika dilakukan dalam kerangka hukum, pemakzulan adalah langkah yang sah. 

"Kita ingin lihat bahwa pengkondisian yang sedang dilakukan itu memang mengarah pada pemakzulan wakil presiden. Apakah itu salah? Nggak salah itu, ada fasilitas yang disediakan oleh konstitusi, yang disediakan oleh hukum," tegas Rocky. 

Namun, ia memperingatkan bahwa yang tidak boleh terjadi adalah tindakan-tindakan politik yang terlalu pragmatis dan oportunis untuk mempertahankan posisi Gibran. 

"Yang tidak boleh adalah, kalau akibat dari upaya untuk mempertahankan kedudukan Pak Gibran itu maka cawe-cawe di partai-partai pendukung itu menjadi sangat pragmatis atau oportunis," tambahnya. 

Rocky juga menyinggung kemungkinan yang lebih ekstrem, yakni jika Presiden Prabowo Subianto berhalangan menjalankan tugas, maka Gibran secara otomatis akan menggantikannya sebagai presiden. Menurutnya, ini justru menjadi skenario yang sangat berisiko. 

"Karena mulai terlihat, ya Gibran harus dipersiapkan, karena kalau terjadi sesuatu dengan Presiden Prabowo, maka Gibran akan mengambil alih. Justru itu lebih berbahaya lagi itu," ujar Rocky. 

Ia pun mengingatkan bahwa keterlibatan Indonesia di panggung politik global membutuhkan sosok pemimpin dengan kedalaman intelektual dan kapasitas analisis yang matang. 

"Isu ini harus kita perhatikan bahwa masuk akal kalau dalam kondisi kerawanan global, Gibran dianggap tidak punya kapasitas untuk mengatasi. Bukan saja karena purnawirawan yang bicara, atau mahasiswa yang meminta supaya Gibran itu dimakzulkan, tapi lebih karena kapasitas Gibran yang memang belum sanggup untuk memikul beban, atau memikirkan hal-hal yang ruwet di dalam sistem dunia yang sedang mengalami turbulensi multidimensi hari-hari ini," tutup Rocky.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak