RIAU24.COM - Rocky Gerung, analis politik dan filsuf publik, mengingatkan bahwa dunia telah memasuki masa di mana "setiap negara memproteksi dirinya sendiri."
Era pasar bebas yang menjadi fondasi pertumbuhan global pasca-Perang Dunia II kini runtuh di bawah kebijakan-kebijakan proteksionis. Menurut Rocky, Donald Trump bukan hanya pencetus, tetapi juga simbol pergeseran ekonomi dunia yang brutal.
"Dunia ini makin siap perang, bukan berdagang," tegas Rocky. "Dan itu artinya, ekonomi Indonesia tidak bisa lagi bertahan dengan mengandalkan jual-beli surat utang atau menggadaikan sumber daya."
Indonesia Harus Bersiap Menghadapi Perang Dunia III
Peringatan Rocky lebih dari sekadar analisis biasa. Ia menekankan bahwa Indonesia harus berpikir dalam kerangka "military efficiency" — prinsip manajemen sumber daya dalam kondisi darurat militer.
Sejarah telah menunjukkan, lanjut Rocky, bahwa "ketika perdagangan global macet, ujungnya adalah konflik bersenjata."
Sinyal itu sudah terlihat. Ketegangan Amerika-Eropa, upaya Tiongkok membalas hegemoni Barat, hingga langkah-langkah Eropa yang mencoba melepaskan diri dari dominasi NATO, semua mengarah pada pembentukan blok-blok baru dunia.
Rocky menyebut bahwa para pemimpin dunia seperti Vladimir Putin, Xi Jinping, dan bahkan sekutu-sekutu lama AS, mulai mengkalibrasi ulang posisi mereka di peta geopolitik.
Indonesia, kata Rocky, tak bisa lagi berdiam diri. Prabowo mesti mempersiapkan "reshuffle" besar-besaran di kabinetnya.
"Tidak bisa lagi mengandalkan teknokrat pragmatis atau politisi akomodasi partai. Harus kabinet yang paham geopolitik global dan bisa berpikir dalam skala pertahanan dan survival nasional," katanya.
Gibran: Beban Terlalu Berat di Pundak Terlalu Ringkih
Di tengah krisis ini, muncul satu nama yang mulai dipertanyakan secara serius: Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden muda yang melangkah ke panggung politik nasional dalam usia yang masih belia, dan — kini terbukti — tanpa bekal memadai untuk membaca kompleksitas dunia yang bergolak.
"Gibran gagal menunjukkan kapasitas. Dia tidak hanya belum matang, dia salah asuh dari awal," sindir Rocky. "Dalam sistem global seperti ini, wakil presiden harus punya pemikiran strategis, mengerti konsep global security, mampu merespons cepat krisis internasional. Gibran? Tidak ada."
Rocky bahkan menyebut bahwa Gibran sekadar "ingin menonjolkan diri" tanpa benar-benar memahami situasi. Ketika dunia menuntut kecerdasan geopolitik dari setiap pemimpin, Indonesia justru menghadapi situasi di mana wakil presidennya "tidak mampu mendeteksi potensi kerawanan global."
Dilema Legitimasi dan Ancaman Masa Depan
Lebih jauh, Rocky mengisyaratkan bahwa mempertahankan Gibran dalam struktur kekuasaan bukan hanya memperlemah kredibilitas Indonesia di mata dunia, tetapi juga membuka risiko baru: krisis legitimasi domestik.
"Masyarakat sipil sudah mempersoalkan kapasitas dan posisi Gibran. Bila diteruskan, bukan tak mungkin akan lahir gerakan konstitusional yang mempertanyakan kelayakannya," kata Rocky.
Dalam kondisi ekonomi global yang rapuh dan dunia yang bergerak menuju konflik, Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mengantisipasi, beradaptasi, dan menavigasi perubahan dengan cepat. Kapasitas individu di pucuk kekuasaan bukan lagi soal pilihan politik semata, melainkan soal kelangsungan negara.
"Reshuffle kabinet bukan sekadar opsi, itu kebutuhan. Termasuk soal Wakil Presiden," tutup Rocky tegas.
(***)