RIAU24.COM - Di sebuah pagi yang sendu dan berkabut tipis di Desa Merempan Kecamatan Mempura Kabupaten Siak , suara langkah warga terdengar bersahut menuju balai desa. Di teras bangunan itu, kursi-kursi plastik disusun rapi, sementara aroma kopi hitam baru diseduh memenuhi udara. Tidak ada yang istimewa dari suasana pagi itu kecuali satu hal warga datang bukan sekadar sebagai penonton, melainkan sebagai penentu.
Musyawarah desa (Musdes) yang dahulu dikenal sunyi, kini berubah menjadi ruang hidup tempat warga dari berbagai kelompok umur, aktivitas, dan latar ekonomi duduk sejajar. Tidak ada lagi jarak antara pemerintah desa dan warganya yang ada hanyalah percakapan yang mengalir, saling mengoreksi, dan saling mendorong.
“Dulu kami cuma dengar keputusan.Sekarang kami bisa mengubah keputusan,”ujar Nurhayati, perempuan penggerak asal Merempan, sambil menggenggam map berisi usulan kelompoknya. Matanya berbinar, menandai perubahan yang bukan saja administratif, tetapi emosional.
Perubahan seperti ini tidak terjadi dalam semalam. Ia tumbuh perlahan, dibentuk oleh keterbukaan data, keberanian warga, dan kemauan pemerintah desa untuk mengubah pola komunikasi.
Laporan ini menelusuri bagaimana demokrasi di Kabupaten Siak menemukan bentuk barunya. Melalui tiga desa Merempan, Tumang, dan Teluk Batil, kita melihat wajah demokrasi yang tidak hanya dibicarakan, melainkan benar-benar dijalani.
Musyawarah yang Tak Lagi Formalitas
Di Merempan, balai desa kini tidak pernah sepi setiap kali Musdes digelar. Di antara deretan meja panjang, para ibu duduk membawa catatan, pemuda membawa berkas survei lapangan, dan para petani membawa foto kondisi irigasi.
Di sudut ruangan, Sekretaris Desa terlihat kewalahan menampung kertas usulan yang terus bertambah.
Data menunjukkan lonjakan kehadiran warga yang mencolok:
Tingkat Partisipasi Warga dalam Musyawarah Desa
(Data kompilasi tiga desa, 2022–2024)
Tahun Merempan Tumang Teluk Batil
2022 38% 42% 40%
2023 51%. 57% 49%
2024. 63% 70% 66%
Lonjakan hingga mencapai angka 70% bukan sekadar statistik ia adalah tanda bahwa warga tidak lagi takut bersuara. Demokrasi di desa bergerak, hidup, dan bersuara lantang.
Digitalisasi : Ketika Transparansi Menyala Terang
Jika Merempan identik dengan musyawarah yang hidup, maka Tumang adalah wajah baru tata kelola desa berbasis digital.
Di sebuah warung dekat jembatan, seorang petani tua terlihat memegang ponselnya dengan agak canggung, mencoba membuka aplikasi “Siak Terang Data”.
“Anak saya yang ngajarin…sekarang saya bisa lihat anggaran kapan pun,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Aplikasi ini memungkinkan warga mengecek ,Detail APBDes, Progres pembangunan, Daftar penerima bantuan,Jadwal Musdes,Hingga tombol “protes” yang langsung terhubung ke tim pengawasan.
Kepala Desa Tumang, Rizal Alfarizi, mengatakan dengan nada lugas “Kalau mau demokrasi hidup, maka datanya harus hidup juga. Semua warga berhak melihat uang desa mengalir ke mana.” Digitalisasi ini memicu bertambahnya jumlah aduan publik sebuah tanda bahwa warga makin peduli dan berani terlibat.
Jumlah Aduan Publik Melalui Sistem Digital 2022, 14 aduan, 2023 , 27 aduan, 2024, 46 aduan
Grafik aduan terus naik, tetapi bukan karena masalah memburuk melainkan karena pintu partisipasi dibuka lebar.
Ketika Kelompok Rentan Menjadi Pengawas Pembangunan
Di Teluk Batil, suara perempuan bukan lagi suara yang ditahan, melainkan suara penggerak.
Kelompok Perempuan Teluk Batil aktif memantau program pertanian lokal: mulai dari bantuan pupuk, jadwal tanam, hingga efektivitas pelatihan.
Sulastri, ketua kelompok, berkata sambil memperlihatkan catatan lapangan:
“Kalau kami hanya menerima saja, tidak akan maju. Sekarang kami yang mengecek apakah bantuan itu sampai kepada yang berhak.”
Sementara itu, pemuda desa bergerak dengan cara yang berbeda mereka menggunakan drone.
“Pemuda Monitor”nama program itu mendokumentasikan progres pembangunan jalan, jembatan, dan irigasi, lalu membandingkannya dengan laporan resmi.
Gambar dari udara membuat manipulasi laporan tak lagi mudah dilakukan.
Kolaborasi dengan Akademisi: Demokrasi yang Berbasis Ilmu
Di siang yang terik, aula Desa Tumang dipenuhi mahasiswa dan dosen dari Universitas Riau dan STAIN Bengkalis. Mereka duduk berdampingan dengan warga, menelaah data dan rancangan RPJMDes.
Dr.Yusran Effendi dari Universitas Riau menegaskan “Demokrasi tidak cukup hanya dengan bicara. Warga harus paham data, paham dokumen, dan mengerti bagaimana kebijakan bekerja. Di Siak, kapasitas itu sedang tumbuh.” Kolaborasi akademisi–desa ini melahirkan rancangan pembangunan yang lebih matang dan berbasis bukti, bukan asumsi.
Tantangan yang Masih Menghantui
Meski geliat demokrasi semakin kuat, bayang-bayang lama belum sepenuhnya hilang pengaruh tokoh elite lokal masih terasa dalam beberapa keputusan, Literasi digital kelompok usia tua masih rendah,Akses informasi belum merata di seluruh dusun, Potensi politisasi bantuan desa tetap menjadi kekhawatiran warga.
Halim, warga Tumang, mengatakan sambil menghela napas “Sudah jauh lebih baik, tapi bukan berarti tanpa cela. Yang penting sekarang kami bisa protes.”
Demokrasi yang Benar-Benar Dekat dengan Warga
Dari Merempan yang riuh, Tumang yang digital, hingga Teluk Batil yang progresif, satu hal menjadi jelas demokrasi di Siak tidak lagi menjadi wacana, melainkan praktik keseharian.Ia hidup di obrolan warga yang mengkritik pembangunan, jemari pemuda yang mengoperasikan drone,layar ponsel petani yang mengecek anggaran,suar ibu-ibu yang membawa daftar evaluasi,ruang musyawarah yang tak lagi diam.
Siak memberi contoh bahwa demokrasi tidak tumbuh dari gedung tinggi, tetapi dari tanah yang dipijak warga sendiri tanah tempat suara-suara kecil berkumpul dan membentuk perubahan besar.
Demokrasi yang Mengakar, Bergerak, dan Berdaya
Demokrasi di Kabupaten Siak memperlihatkan wajah baru, Partisipasi warga meningkat tajam, Transparansi digital membuka pintu keberanian, Kelompok rentan menjadi aktor utama,akademisi masuk memperkuat kapasitas data, Musyawarah tetap hidup, tetapi kini berbasis bukti. Siak bukan hanya menjalankan demokrasi tetapi menghidupkannya. Dan mungkin, dari desa-desa kecil inilah masa depan demokrasi Indonesia akan menemukan akar terkuatnya.
Kini pada akhirnya, perjalanan demokrasi di Kabupaten Siak memberi kita satu pelajaran penting bahwa masa depan tata kelola tidak selalu lahir dari gedung megah atau forum nasional, melainkan dari balai desa, serambi rumah warga, dan ruang-ruang kecil tempat suara rakyat masih punya gema. Di Merempan, Tumang, dan Teluk Batil, demokrasi bukan sekadar prosedur, ia menjadi denyut hidup yang dirasakan warga setiap hari saat mereka berbicara, mengusulkan, mengawasi, hingga menolak.
Desa-desa ini mungkin tidak sempurna. Masih ada hambatan, ketimpangan informasi, dan bayang-bayang dominasi elite. Namun di balik semua itu, ada keyakinan baru yang tumbuh bahwa perubahan bukan lagi milik para pemimpin saja, tetapi milik semua orang yang memilih untuk terlibat.
Di Siak, demokrasi tidak hanya berjalan ia pulang ke rumahnya yang paling hakiki masyarakat. Dan ketika warga menjadi penggerak utama, desa tidak hanya membangun jalan, jembatan, atau irigasi. Mereka membangun sesuatu yang jauh lebih berharga kepercayaan. Sebab di situlah demokrasi menemukan napasnya di tangan mereka yang berani menjaga harapannya. (Lina P.Lestari)