Jokowi DInilai 'Hibahkan' Projo ke Prabowo, Rocky Gerung: Apa yang Ditukar dan Apa yang Dijaga? 

R24/zura
Jokowi DInilai 'Hibahkan' Projo ke Prabowo, Rocky Gerung: Apa yang Ditukar dan Apa yang Dijaga?. (Collage By @ZuratulAiniRodhaih)
Jokowi DInilai 'Hibahkan' Projo ke Prabowo, Rocky Gerung: Apa yang Ditukar dan Apa yang Dijaga?. (Collage By @ZuratulAiniRodhaih)

RIAU24.COM -Langkah Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, untuk bergabung dengan Partai Gerindra menandai babak baru dalam konstelasi politik pasca-Pemilu 2024. 

Keputusan yang diumumkan dalam Kongres III Projo itu bukan sekadar perpindahan kader atau relawan, tetapi sebuah simbol pergeseran kekuatan dalam orbit politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Budi Arie menyatakan, Projo akan memperkuat Gerindra—partai yang kini dipimpin Presiden terpilih Prabowo Subianto. 

Dengan langkah tersebut, organisasi relawan yang selama satu dekade menjadi motor utama dukungan untuk Jokowi seakan resmi berpindah haluan.

Pertanyaannya: apakah ini sekadar manuver personal, atau sinyal melemahnya pengaruh Jokowi di panggung kekuasaan nasional?

Transaksi politik

Analis politik Rocky Gerung dalam diskusi FNN menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “era transaksi politik besar-besaran”. Menurutnya, perpindahan Projo ke Gerindra tidak mungkin terjadi tanpa kalkulasi politik matang—termasuk restu dari Jokowi sendiri.

“Politik sedang masuk dalam era transaksi habis-habisan atau besar-besaran,” kata Rocky dikutip dari YouTube Rocky Gerung Official, Senin (3/11/2025).

Pandangan ini mencerminkan realitas politik Indonesia pasca-pemilu: negosiasi antar-elite menjadi instrumen utama dalam menjaga kesinambungan kekuasaan dan melindungi kepentingan politik masing-masing kubu.

Di sisi lain, keputusan Budi Arie juga dibaca sebagai strategi penyelamatan politik pribadi. Sebagai mantan Menteri Komunikasi dan Informatika yang sempat terseret kasus dugaan korupsi, Budi diyakini tengah mencari “payung” baru dalam dinamika kekuasaan yang bergeser cepat.

Namun, jika benar langkah ini mendapat restu Jokowi, pertanyaannya kemudian bergeser: apa yang ditukar dan apa yang dijaga?

Apakah ini bagian dari upaya mempertahankan posisi politik keluarga Jokowi di tengah sorotan publik terhadap apa yang disebut sebagai “dinasti Solo”?

Dia melihat Projo menjadi objek alat tukar tambah. Antara pihak Presiden ke-7 Jokowi dengan Presiden Prabowo Subianto.

“Karena bayangkan, Projo pada kahirnya harus pindah ke Gerindra. Itu mungkin strategi yang jitu oleh Ketua Projonya, saudara Budi untuk memungkinkan ada tukar tambah baru dalam politik,” terangnya.

Bagi Rocky, hal tersebut sangat menarik.

“Dan ini sangat menarik, kalau kita lihat apa sebetulnya yang terjadi dalam dinasti politik Pak Jokowi,” imbuhnya.

Peristiwa politik tersebut, menurutnya harus dilihat lebih luas. Seperti Budi yang sebelumnya terseret sejumlah kasus dugaan korupsi.

“Apa betul, upaya untuk regain memenangkan pengaruh Presiden Jokowi itu pada akhirnya harus ditransaksikan dengan kedudukan saudara Budi yang berkasus, sehingga pindah dari Projo ke Gerindra,” paparnya.

“Ini satu tema yang mungkin bisa kita intip, dari segi transaksi antara Jokowi dan Presiden Prabowo kan, mestinya begitu. Kita lihat pengkondisian,” tambahnya.

Bahkan, Rocky menggunakan kata hibah. Menurutnya, Jokowi menghibahkan Projo ke Prabowo.

Dalam wacana politik yang berkembang, perpindahan Projo kerap diartikan sebagai bagian dari “tukar tambah kekuasaan” antara Jokowi dan Prabowo. Projo bukan hanya organisasi relawan; ia merupakan simbol pengaruh sosial Jokowi di akar rumput.

Dengan melepasnya ke Gerindra, Jokowi seolah menyerahkan sebagian “aset politik” kepada Prabowo—entah sebagai bentuk kompromi atau kalkulasi untuk menjaga stabilitas politik menjelang masa transisi pemerintahan.

“Tapi sekali lagi, publik menduga kuat, bahwa tentu dengan seizin Pak Jokowi maka Projo akan dihibahkan ke Gerindra. Kira-kira jalan pikirannya kan, kita lihat pertemuan kemarin itu. Pak Jokowi tidak hadir, Pak Prabowo tidak hadir,” jelasnya.

“Itu menandakan ada sikap hati-hati dari Pak Jokowi untuk mendiplomasikan Projo itu ke Gerindra,” tambahnya.

Pada akhirnya, Rocky melihatnya sebagai upaya menagih utang politik di masa lalu.

Namun, langkah ini juga mengundang risiko besar. Dukungan publik terhadap Jokowi yang dahulu solid bisa mengalami fragmentasi. Identitas Projo yang melekat pada figur “Pro-Jokowi” kini kehilangan makna, dan para relawan di daerah menghadapi dilema: tetap loyal kepada Jokowi, atau mengikuti arus kekuasaan baru di bawah Prabowo.

“Kita coba pahami itu dari persaingan politik yang makin tajam, dan tagih-menagih utang politik di masa lalu juga mungkin mulai terbaca. Itu yang kira-kira jadi semacam utama Projo kenapa ketuu umumnya henda berdalih partai dari PSI pergi pada Gerindra,” pungkas Rocky.

Bayang Kasus dan Tekanan Hukum

Isu ini muncul beriringan dengan meningkatnya tekanan terhadap sejumlah tokoh yang dikaitkan dengan keluarga Presiden. 

Nama Bobby Nasution, menantu Jokowi sekaligus Gubernur Sumatera Utara, sempat disebut dalam rumor pemanggilan oleh KPK.

Selain itu, publik juga disuguhkan isu lama seputar keabsahan ijazah Presiden maupun Gibran Rakabuming—isu yang kerap muncul menjelang perubahan rezim sebagai bentuk tekanan politik.

Bagi sebagian pihak, rangkaian ini memperlihatkan bahwa masa pasca-kepresidenan Jokowi tidak akan berjalan mulus. Dinasti politik yang dibangun selama sepuluh tahun terakhir kini menghadapi ujian serius, baik secara hukum maupun moral politik.

Radical Break: Ketegangan di Ujung Transisi

Rocky Gerung menyebut bahwa Indonesia kini berada di ambang “radical break”—sebuah fase di mana frustrasi publik terhadap ketimpangan kekuasaan dan transaksi politik mencapai puncaknya.

Menurutnya, jika pemerintahan baru tidak mampu menegakkan keadilan dan transparansi, maka gelombang ketidakpuasan masyarakat bisa kembali meningkat.

Sementara itu, kelompok masyarakat sipil dan media independen didorong untuk tetap mengawal isu-isu substantif: korupsi, keadilan hukum, serta penyalahgunaan kekuasaan. Mereka diingatkan agar tidak terseret oleh wacana-wacana pengalihan isu yang justru menjauhkan publik dari persoalan utama.

Dalam konteks ini, berpindahnya Projo ke Gerindra bukan sekadar simbol pergeseran dukungan, tetapi juga barometer perubahan keseimbangan kekuasaan nasional. Ia menandai berakhirnya era dominasi satu figur, dan dimulainya babak baru politik transaksi yang lebih terbuka.

Jokowi di Persimpangan

Dengan berpindahnya Projo, Jokowi kehilangan salah satu basis sosial terpenting yang dulu membentuk citra “pemimpin rakyat”. Kini, tanpa dukungan mesin relawan itu, Jokowi menghadapi tantangan untuk mempertahankan pengaruh politiknya di tengah kekuasaan Prabowo yang semakin menguat.

Namun, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada loyalitas yang abadi—hanya kepentingan yang berubah seiring waktu.

Budi Arie mungkin hanya satu dari banyak figur yang mencari tempat aman dalam peta baru kekuasaan, tapi simbolisme langkahnya menegaskan satu hal: era Jokowi perlahan menutup diri, sementara peta politik nasional tengah digambar ulang di bawah bayangan Prabowo.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak